Page 52 - Wabah (KUMPULAN CERPEN)
P. 52

setahun lalu, Karno dan Siti tinggal di kota. Karno bekerja di
           sebuah rumah makan. Semenjak wabah dan rumah makan
           tutup, keduanya memilih kembali ke desa. Sebenarnya Karno
           bisa mengajak istrinya tinggal di Kasongan, di kampung
           halaman Karno dan bisa beraktivitas membuat gerabah, tapi
           Mbah Cokro memaksa keduanya untuk pulang ke desa di
           lereng Merapi itu.
               Bulan-bulan awal keduanya hidup dari uang tabungan
           yang seharusnya disiapkan untuk biaya persalinan. Tak ayal
           hal itu membuat Karno hanya bisa pasrah. Beruntung ia
           belum stres, frustrasi, patah asa, bercerai, atau salah-salah
           memilih mengakhiri hidupnya --peristiwa yang terjadi
           pada beberapa rekannya, Harto telah gila, Rudi telah cerai,
           dan Gati malah gantung diri. Di rumah mertuanya ia be-
           nar-benar tampak tolol, melihat warga yang lain bisa bekerja
           mengandalkan otot tubuhnya. Meskipun begitu, sebenarnya
           Karno memiliki bakat dan keterampilan membuat gerabah
           hasil belajar pada bapaknya.
               “Bapak, saya hendak mohon izin. Untuk beberapa wak-
           tu saya tinggal di Kasongan. Kembali membuat gerabah dan
           membantu bapak saya,” Karno berkata kepada Mbah Cokro
           pagi itu di dapur saat sarapan.
               “Jadi laki-laki memang harus bertanggung jawab un-
           tuk keluarganya. Tapi pada situasi seperti saat ini, semua
           orang, jangankan untuk bertanggung jawab kepada keluar-
           ganya, untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri saja
           su-lit,” jawab Mbah Cokro diakhiri dengan mengisap udud
           lintingannya.


                                  34
   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57