Page 20 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 20
Ia bangkitkan wajahnya memandangku dengan
senyum yang dipaksakan, "Jangan seperti itu ya. Aku ingin
kita seperti ini saja! Tidak lebih." Kulihat rautnya berubah
melankolis penuh iba, mungkin ia melihat ekspresiku yang
datar. "Maafkan aku". Tukasnya lalu bangkit
meninggalkanku sendiri, ia kembali ke tenda bergabung
dengan teman-teman, aku masih duduk dengan hati kecut,
masih kurang mengerti atau sebenarnya aku tahu inilah yang
dinamakan cinta bertepuk sebelah tangan, dan wajah
datarku semakin kaku tersapu derasnya angin yang tiba-tiba
membawa kabut kepiluan.
Bayang-bayang kenangan pahit terhenti ketika tanpa
kusadari pemilik suara itu telah sampai di depan meja
makanku dan ia menyapa.
"Hai". Sapanya dengan senyum itu, iya, senyum itulah
yang manis tapi mematikan, meski tetap selalu kurindui.
Aku hanya membalasnya dengan senyum getir yang
dipaksa bermanis, meski malah menjadikan semakin
canggung. Ia duduk di meja depanku setelah memesan
menu, karena hanya itulah tempat yang masih tersedia, dan
dengan suasana mati, aku tetap diam, begitu juga yang ia
lakukan.
"Sendirian sajakah dirimu?" Tanyanya mencoba
mencairkan suasana.
“Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ
20

