Page 33 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 33

yang membuatku betah dekat pohon itu, bahkan aku lebih

           memilih di sana meskipun sendirian daripada beramai-ramai

           bermain dengan teman-teman kecilku, hingga seringkali aku
           dijuluki ‘anak rambutan’.


                  “Sudahlah  kita  tinggalkan  saja  dia,  dia  kan  anak
           pohon,  dasar  anak  rambutan!”.  Olok  teman-teman

           sepermainanku,  tiap  kali  aku  menolak  diajak  bermain  di
           kampung sebelah, atau setidaknya keliling kampung sendiri.

                  “Anak     rambutaaan,     anak     rambutaaan,      anak

           rambutaaan       !!!”.   Beramai-ramai     mereka      berteriak

           mengejekku, tetapi aku tak menghiraukan akan hal itu.

                  Rumah  kayu  beralas  tanah  ini  juga  masih  seperti

           dahulu, tidak ada yang berubah tanpa kecuali dapur pawon
           atau tungku itu, masih tetap berada di pojok kiri ruang tamu

           yang  sekaligus  untuk tempat  penggorengan  tempe  kemul.
           Ibuku dari dulu berjualan tempe kemul, pisang goreng, tahu

           susur dan  makanan  gorengan  yang  lain, ada  tape  goreng

           atau  ketan  atau  lempung–  ketela  rambat  manis  digoreng.
           Yang  menjadi  langganan  utama  jajanan  ibuku  ini,  tadinya

           hanya para supir truk angkutan hasil panen kebun desaku,
           kebetulan memang gubug warungan yang kusebut rumah ini

           juga  strategis,  yakni  di  pertigaan  jalan  masuk  kebun  dan

           desa tetangga. Sekarang aku lihat bahkan anak-anak kecil
           “Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ

                                                                            33
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38