Page 34 - _Manusia_dan_Sastra_Fix-Antologi_Cerpen
P. 34

seusiaku pun sudah menjadi langganan tetap jajanan ibu tiap

           pagi dan sore hari, pagi sebelum mereka sekolah dan sore

           menjelang petang, mereka datang.

                  “Nak, sudah sore, ayo sana lekas mandi dan segera

           ke surau, jangan sampai telat ngajinya!” Suara ibu dari arah
           ruang tengah, menghentikan lamunanku yang sedang asyik-

           asyiknya, sambil memandang halaman dari jendela kamar.

                  “Iya  mak!”.  Teriakku,  segera  bergegas  lari  menuju
           kamar  mandi  di  belakang  rumah,  sementara  pohon

           rambutan  yang  mulai  remaja  itu  sekilas  kupandang

           melambai-lambai.

                                          ***

           Sudah  tak  seperti  dahulu,  bapak  yang  tadinya  bekerja

           menggarap  sawah  menanam  padi,  atau  kadang  jagung,

           kadangpula  cabai  dan  sayur  mayur  lainnya,  kini  menjadi
           sosok  pe-gawai  bergaji,  gajinya  tiap  minggu  sekali,  tetapi

           bapak  bukan  pegawai  negeri,  bapak  hanya  melepaskan
           predikat petani untuk menjadi buruh bongkar muat kayu di

           sebuah  pabrik  kecamatan.  Ini  bapak  lakukan  karena  ia
           menjual sawah keluarga demi untuk membiayai sekolahku

           dan adikku. Tapi dasar malang, kemalangan tak pernah lebih

           dahulu berempati sebelum menimpa, baru beberapa bulan


           “Manusia dan Sastra” Antologi Cerpen Teater Getir UNSIQ

                                                                            34
   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39