Page 156 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 156
145
"Mama begitu kata yang kuucap pertama kali se-
saat setelah sluman.
"Oh, Alma, kamu sudah bangun suara lembut me-
nyahut. Itu suara Mama, kataku dalam hati.
"lya Ma, apa yang teijadl pada diriku? Oh, ya ... Pon-
tiac biru Itu yang menabrakku. Ma," kataku seakan menga-
dukan kejadian itu pada Mama.
"Tenang Al, lupakan kejadian itu. Yang penting kamu
selamat. Kamu masih beruntung tidak mengalami luka berat
dan mengeluarkan banyak darah. Dokter mengatakan hanya
kepalamu saja yang terbentur cukup keras," Mama mene-
nangkanku. Satu perkataan Mama yang selalu kuingat sam-
pai sekarang, "Kamu masih beruntung ...." Dalam keadaan
seperti inikah keberuntungan menjadi berarti? Begitulah
pertanyaan yang bernada memberontak mendesak hatiku
saat ini.
Qua hari aku berada di rumah sakit. Dokter menya-
takan perbanku akan segera dilepas. Setelah itu, aku boleh
pulang. Namun, betapa terkejutnya aku saat suster melepas
perban itu.
"Dok ... dokter> ke ... ke ... kenapa saya nggak bisa
melihat apa-apa?" suaraku tersekat, kehllangan semangat.
"Maaf Nyonya," kudengar kata dokter pada Mamaku,
"Kalau begitu diagnosis saya benar. Benturan pada kepala
putri Anda menyebabkan gangguan pada jaringan saraf.
Putri Anda buta."
"Tidak! Apa yang dokter katakan itu tidak benar!" je-
ritku dengan suara bergetar. Saat itu serasa aku mendengar
vonis kematiankLr. Sepettinya sentua telab berakhir.
"SabaF ya, sayang, sabat? Mama bepkata®dengan
terisak. Kemudian, tidak ada kata lain yang. kudengar lagi
ketika itu. Berhentt. Lengang.
Sebulan; beRtaki& Aku merasa^ tela^ ben^benar keht"

