Page 157 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 157
146
iangan segalanya. Semangat hidupku, sekolah teman-te-
manku. Semuanya seolah ienyap walau memang beberapa
sahabatky tetap baik. Mereka masib sering mengunjupgiku.
"AI, tegarlah menghadapi cobaan ini. Aku tahu kok be-
tapa sedih dan menyesalnya kamu. Percayalah AI, aku tetap
temanmu. Bahkan, kamu tetap jadi teman terbalk buatku."
Begltulah Tania sahabatku mencoba menghlbur.
"Terlma kasih, Tan. Kamu memang benar-benar te-
manku yang paling care. Aku nggak tahu mesti bagaimana
menghadapi hari-hariku yang berat dan gelap ini. Begitu
hampa duniaku sekarang, Tan."
Situasi menyedihkan ini kadang-kadang membuatku
masuk dalam dunia kesadaran. Seakan bergumulan masa
lampau dan masa sekarang teijadi.
Betapa beruntungnya punya mata sehat. Mata yang
membuat hidup menjadi sempurna dan begitu berarti. Beta-
pa mahalnya bisa melihat. Jika dinilai dengan materi, mung-
kin, ah, tak mungkin. Waktu mataku masih bisa melihat, aku
jarang atau bahkan tak pernah sampai pada pemikiran
seperti ini. Keadaan sekaranglah yang membuatku makin
memahami bagaimana rasanya orang-orang buta sejak lahir.
Aku bersyukur karena kau pernah punya kesempatan me-
nyaksikan kehidupan dengan aneka warnanya. Aku masih
punya kesempatan melihat kupu-kupu yang hinggap di bu-
nga sepatu. Aku masih sempat melihat bianglala saat ge-
rimis tengah hari. Masih sempat melihat wajah Mama dan
Papa, juga teman-teman. Sekarang, apakah aku harus per-
caya pada kata sakral bernama nasib dan takdir? Atau ha-
ruskah mengakui kata-kata Mama bahwa aku masih ber-
untung. Beruntung karena masih bisa menyadari arti sakit,
arti gelap dalam dunia yang benar-benar aku alami?
Suatu hari. Mama membujukku supaya menjalani ope-
rasi mata. Papa pun tak ketinggalan ikut menasihatiku, "AI,
dicoba dulu deh, kan nggak ada salahnya. Papa optimis kok

