Page 165 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 165
156
"Uh, andaikan papa masih hidup, mama tak perlu re-
pot-repot membuat kue untuk biaya hidup dan waktuku
bersama pangeranku past! banyak karena aku tak perlu ca-
pek-capek mengantarkan kue pesanan itu," sungutnya.
"Mi, sambungnya nanti saja, ya?" Akhirnya ia pun ber-
gegas menemui mamanya di dapur.
"Malam ini rasanya lama sekali. Rasanya ingin sekali
memutar jam dinding itu ke pukul lima pagi. Andaikan aku
punya tongkat wasiat itu. Tapi, ... kurasa aku terlalu ber-
khayal, tapi ada satu yang akan jadi kenyataan," pikir Lia.
Pagi itu ia tiba lebih awal di sekolah. Lalu, ia bicara se-
dikit dengan Desty, lalu duduk kembali di bangkunya. Ia
agak kecewa karena sampai saat ini pangerannya belum
datang. baru saja ia akan belajar matemetika ....
"Hai, suara berat itu mengejutkannya. Ia menoleh ce-
pat. Oh, pangeranku," teriaknya dalam hati. Ia berusaha
mengatur napasnya "Hai!" balasnya singkat.
"Kamu naik apa? Kok datangnya pagi sekali, sih?" ucap
Yo memulai pembicaraan. Dalam hati ia bersorak gembira.
Ingin rasanya meloncat dari bangku satu ke bangku lainnya.
Oh, God terima kasih ia sudah mau bicara denganku.
"Biasa saja. Aku tadi hanya belajar sebentar, tadi ma
lam aku tidak sempat belajar," ujarku sedikit berbohong.
"Oh," hanya itu yang ke iuar dari mulut Yo. Padahal, ia ber-
harap Yo masih mau mengajaknya ngobrol. Tapi, lagi-lagi ia
kecewa, Yo meninggalkannya dan bergabung dengan teman-
temannya.
Hari pelajaran yang berlalu terasa sangat membosan-
kan. Ia memang sadar kalau IQ-nya berada di atas teman-
temannya. Tidak heran kalau ranking satu selalu didapatnya.
Ia seperti sudah tahu materi sebelum materi itu diberikan
guru. Tapi, ia kasihan pada Yo. Beberapa kali ia tidak mam-
pu menjawab pertanyaan yang diajukan guru padanya. Ia
ingin membisikkan jawaban ke telinga Yo tanpa ketahuan>

