Page 195 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 195
186
"Gaiang, "sudah pindah, ya, Bu?" dengan susah payah
kutaruskan^'kaljinatku.
Setates ait mata menetes di pip! ibuku, 4alu:tiba-tiba la
meraskan kaiitTiatku.
Setetes ait mata menetes di pipi ibuku, laiu tiba-tiba ia
'merengkuhku ke pelukannya. Sambil mengusap rambutku ia
berkata pelan.
"Nak, Galang pergi November iaiu. Maafkan Ibu, ya,
Nak." Aku menarik diriku dari peiukannya. Menatap mata-
nya dengan pandangan tak mengerti.
"Pergi bagaimana, Bu? Pindah ke Bandung apa ke ma-
na?" aku begitu bingung.
Ibuku menggeleng pelan, merengkuhku ke peiukannya.
Sambil mengusap rambutku ia berkata pelan.
Ibuku menggeleng pelan. "meninggal ...."
Gerak bibir ibuku tampak begitu pelan. Kamarku
seakan berputar. Aku terduduk dan menjerit, menangis dan
berteriak, mencoba melepas luka besar yang menindih da-
daku. Ibuku memelukku dan mencoba menenangkan aku.
"Yang ikhlas, Nak! Kasihan Galang, dia sakit begitu,
sekarang dia sudah damai, Nak."
"Tapi, aku tidak bisa, tidak akan pernah bisa ikhlas! Ini
tidak adil! Setelah kehilangan ayahku, kenapa aku masih
juga harus kehilangan Galang? Tidak, aku protes, TuhanI!
Kenapa aku?"
***
Sayup-sayup suara orang beramai-ramai membaca su-
rat Yasin terdengar di balik punggungku. Aku tak sanggup
ikut duduk dan mengaji di sana. Hari ini seribu hari berlalu
sejak kepergian Galang. Seribu hari, dan kepedihan itu ma
sih begitu kental.
Kurapatkan kerudung panjang di bahuku sambil me-
nyeka butir bening yang meluncur di pipiku. Halaman ini pu-
nya dua lampu yang cukup terang, keduanya dipasang di ka-

