Page 196 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 196
187
nan dan kiri gazebo, sinarnya mengelilingi ayunan rotan
yang gemertak ketika aku berayun di atasnya. Tapi semua-
nya tetap gelap untukku. Dulu, halaman ini terlihat seperti
surga untukku ketika Galang masih hidup. Kami menghabls-
kan sebagian besar waktu kami bersama disini, berbagi se-
mua yang dapat kami bagi.
Aku masih tak bisa mengerti kenapa Galang tidak
memberitahuku bahwa ia sakit. la sudah keluar masuk ru-
mah sakit dari buian Mei, tapi ia tak mau aku tahu, tak ingin
mengganggu persiapan ujian akhirku pertengahan tahun itu.
Ia pikir aku akan pulang setelah ujian usai. Tapi tidak bisa,
ketika itu uangku belum cukup, dan aku sudah memberita^
hunya lewat e-mai, tapi tak pernah bisa ia baca sejak kon-
disinya melemah.
Ia harus diopname untuk diagnosis yang iebih parab,
penyakit yang sama, yang pernah membawanya ke Singapu-
ra bertahun-tahun lalu. Ia menungguku, menungguku pu
lang, untuk kemudian pergi selamanya. Ia beijuang, berta-
han dalam rasa sakit yang amat sangat, menunggu aku pu
lang, Ibuku hendak memberi tahu, tapi tak sampai hati, lagi
pula kondisi yang belum memungkinkan untuk pulang. Pen-
deritaan hebat yang ditanggungnya melewati ambang batas
ketika ia koma akhir Oktober, dan mengakhiri siksaan itu
pada 15 November 1999, saat ia menghembuskan napasnya
yang terakhir. Berbulan-bulaan ia menunggu kepulanganku
hanya untuk mengucapkan selamat tinggal yang tak pernah
sampai padaku. Aku bahkan tak sempat mengatakan pada-
nya bahwa aku menyayanginya, batinku getir.
"Rin/ Rin, Rin!" suars seseorang membuyarkan lamun-
anku. Xante Noer, ibunya Galang. la memandangku dengan
tatapan khawatir.
Istfrahattdb di kamar Galang. Ketibatannya kamu lelah
sekali, di luaF sudah mulai dinging nalklahl" katanya sambil
menepuk pundakku lembut.

