Page 70 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 70
59
ngai ini," kata pemuda itu llrih mengakhiri cerita hari itu un-
tuk keesokan harinya dan keesokannya lagi.
Pagi masih tetap menyertalnya, tapi ada sebuah caha-
ya yang sirna. Bebatuan masih dipecah air yang mengallr,
daun-daun masih terbawa arus, dan sampan masih saja me-
nunggu sang dewi yang lenyap ditelan torehan di kulit kayu.
Torehan-torehan pada batang kayu itu bertambah lagi men-
jadi genap delapan garis ini, tapi sang dewi belum juga
menepati janjinya.
Setelah hari itu pikiran pemuda itu tak sepenuhnya pa-
da derasnya arus air. la bagai menerawang ke dalam dasar
bebatuan yang hitam.
"Bang! Baang ...I" sapa seorang penumpang yang ingin
membayar ongkos.
"Oh, ya. Terima kasih," jawab si pemuda yang baru
tersadar dari renungannya.
Hari belum lagi gelap dan penumpang belum semua di-
serangkan, tapi si pemuda sudah menambatkan perahunya.
la laiu menuju ke bawah sebuah pohon besar di dekat tum-
pukan bebatuan. Di batang pohon itu ia menambahkan satu
garis lagi.
"Ke manakah kau saat ini?" katanya lirih. "Belum lama
kau masih di sini mengatakan akan tersenyum dan selalu
menungguku di sini, tapi kini dunia terasa mengutukku men-
jadi salah satu di antara ratusan batu yang ada. Tiada mera-
sakan kehidupan, tiada sentuhan, semua kosong." pikirnya
dalam hati.
Hujan menjadi saksi pergantian hari-harinya menginjak
ketiga puluh, sama banyaknya dengan torehan di batang po
hon di pinggir sungai itu. Si pemuda masih saja menjadi ba
tu dan menunggu penuh harap, menunggu sang kekasih.
Badannya bukan lagi tegap seperti dulu. Seluruh kehidup-
annya bagai dimakan penantiannya.
"Ia telah kembali. Ia ada pada dirimu. Aku takkan

