Page 75 - Perempuan Penggemar Keringat (2002)
P. 75

64




       nyesak di dada. Tapi, setelah melihat papa dan Tante Dian,
       hampirtak kuasa lagi aku menahannya.
            Papa mulai menyalakan mobil. Aku duduk di belakang
       meskipun Tante Dian memaksaku duduk di depan. Aku lebih
       senang membaca buku ketimbang ngobrol bersama mereka.
       Berkali-kali aku ditanya, tapi aku nggak tahu harus men-
      jawab apa. Bukannya tulalit, tapi memang aku nggak mau
       mendengarnya.
            Aku rasa papa sudah kesai dengan sikapku. Terbukti ia
       tak bisa  bicara lagi  denganku, malah ia  bercanda dengan
       Tante Dian. Serasa disayat-sayathatiku melihat mereka ber
       canda. Oh, ya ... Allah, kuatkanlah hambamu Ini.
            Mobil Civic papa merapat dan kemudian berhenti tepat
       di depan gerbang kuburan.
            "Kamu yakin, nggak makan dulu?" tawar Tante Dian.
            "Nggak," jawabku singkat. Tapi, kali ini  aku sertakan
       senyum meskipun agak terpaksa.
           .Kubuka pintu dan ke luar darl mobil. Dengan berat hati
       kucoba untuk melambaikan tangan, minimal untuk menye-
       nangkan papa pikirku.
            Tak segera aku langkahkan kakiku. Termangu, mena-
       tap kosong pemandangan beku di depanku. Ada semacam
       keraguan atau ketakutan entah ... aku tak tahu harus ba-
       gaimana sekarang.
            Angin dingin  menerpaku seakan menyuruhku masuk.
       Aku pun  mulai  melangkahkan kaki mengikuti  hembusan
       angin. Bulu tanganku serentak merinding bukan karena ta-
       kut, melainkan karena haru. Angin dingin ini berhenti tepat
       di salah satu pusara.
            "Mama!" kata itu tiba-tiba ke luar mengiringi aku ber-
       simpuh di dekat pusara orang yang telah melahirkan aku.
            Kupejamkan mata sejenak. Kurasakan kehadiran ma
       ma tidak jauh dariku, kehangatan menjalar di sekujur tu-
       buhku. Damai rasanya hatiku. Suatu kedamaian yang selalu
   70   71   72   73   74   75   76   77   78   79   80