Page 144 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 144
abad ke-20 masehi, murid beliau dari Maninjau bernama
Syekh Karim Amrullah dengan panggilan Inyiak DeEr
membantah pendapat sang Guru.
Terjadi perdebatan panjang antara murid dan guru. Oleh
Inyiak DeEr tentang dalil Subhat yang dipatahkan dengan dalil
Qiyas, bahwa sebidang tanah milik Sayyidina Umar bin Khatab
di Madinah diberikan kepada suku Khaibar dengan status
wakaf. Beliau menamakan Harta Musabalah atau Harta Sabil.
Syekh Akhmad Khatib kukuh dengan pendiriannya sehingga
beliau pernah pulang kampung hanya sampai pelabuhan Teluk
Bayur tanpa turun dari kapal. Ia berkata: “Haram memijakkan
kaki di tanah haram”. Inyiak DeEr pun haqqulyaqin bahwa HPT
di-Qiyas-kan halal seperti Harta Mushabalah.
Sebagai Ulama kharismatik, Inyiak DeEr
mendiskusikannya dengan para Ulama besar lainnya di
kampung, seperti Syekh Jambil Jambek, Syekh Sulaiman
ArRasuli, Syekh Muhammad Thayyib Umar, Syekh Abdullah
Ahmad, Syekh Jamil Jaho dan lain-lainnya. Akhirnya semua
Ulama Minangkabau sependapat bahwa kedudukan hukum
HPT adalah halal adanya. Artinya sudah dua sandaran Hukum
yang terpenuhi yaitu Qiyas dan Ijma’.
Terakhir pada seminar HPT di Batusangkar tahun 1970
diputuskan bahwa HPT “halalan thayyiban”. Seminar tersebut
dihadiri oleh para Ulama. Pakar Hukum dan cendekiawan
Minangkabau seperti: Buya Hamka, Drs. Mohammad Hatta,
Profesor Hazairin SI, DR. Nasroen dan lain-lain. Sejak itu
masalah hukumnya sudah final, tak pernah lagi diungkit halal-
haramnya Harta Pusaka Tinggi di Minangkabau.
10. Ancaman Kepunahan HPT
Menyingkap Wajah 115
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya