Page 145 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 145
Diantara Empat pilar penunjang berdirinya bangunan
Minangkabau itu seperti: Matrilineal, Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, Harta Komunal dan masyarakat
Egaliter, maka tiang yang paling rapuh adalah kehidupan Harta
Pusaka Tinggi. Ancamannya sangat serius karena dia
berhadapan dengan krisis nilai. Setidaknya ada 6 tantangan
yang tak terelakkan, yaitu:
• Effek negatif Pagang Gadai. Lazimnya si pemagang
menilai investasi pegangannya bukan dengan mata uang, tapi
dengan emas. Sedangkan kurs rupiah tak pernah sama bahkan
selalu dibawah harga emas. Sehingga dalam waktu panjang,
disaat si penggadai ingin menebus sawah gadaiannya merasa
sangat keberatan. Waktu penebusan harga gadaian akan jauh
lebih mahal dari harga jual. Hal ini berakibat sawah gadaian
takkan ditebus lagi. Artinya secara dejure terjadi perpindahan
hak, dari si penggadai kepada si pemagang, atau pergeseran
status dari harta komunal ke harta pribadi.
• Akibat jumlah penduduk yang terus berkembang
sedangkan luas tanah tak pernah bertambah, maka datanglah
saatnya hasil panen tak memadai. Apalagi sekiranya dibagi-
bagi menurut pemekaran keluarga, dimana tiap pewaris akan
mendapat luas tanah yang tidak berarti. Saat itulah datang ide
untuk menjualnya saja, kemudian membagi-bagi uangnya.
Maka tamatlah sudah riwayat Harta Pusaka Tinggi.
• Tanah yang berada dipinggir-pinggir kota beralih
fungsi sawah menjadi ruko atau tempat usaha. Nilai
ekonominya lebih tinggi dibanding hasil tanaman. Anggota
kaum lebih berminat untuk menjualnya dimana harga tanah
makin lama semakin mahal.
• Keluarga Minang yang bermukim di rantau merasa
harta mereka dikampung tak ada manfaat karena dimonopoli
116
Yus Dt. Parpatih