Page 146 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 146
oleh famili penetap. Akhirnya perantau menuntut harta
pusaka dibagi-bagi menurut Ranji. Warga perantau
mengalihkan. Hak pakai HPT kepada kegiatan usaha yang
penuh resiko. Idealnya masih milik bersama, tapi nilai gunanya
takkan lestari lagi seperti masih berupa tanah.
• Laki-laki terakhir pada keluarga punah merasa dapat
durian runtuh. Dengan alasan “punah” (tak punya keturunan
perempuan), mereka mengklaim milik pribadi. Gugatan
keluarga sibiran yang berhak menurut hukum Adat sangat sulit
dilakukan. Selain dari sanksi Hukum Adat yang tidak jelas,
pengaduan ke pengadilan Perdata adalah usaha sia-sia.
Prosesnya lama dan berbelit. Kans untuk menang hampir nihil.
• Dengan datangnya peluang untuk sertifikat HPT
merupakan lonceng “kematian” harta Adat itu. Sampai di
sinilah umur harta bersama, selanjutnya menjadi milik pribadi
bagi si pemeyang Akte Sertifikat. Maka bersiaplah menerima
Minangkabau berjalan pincang karena satu diantara empat
kakinya telah diamputasi.
Menyingkap Wajah 117
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya