Page 213 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 213
berpantun berpepatah. Bahasa bebas hanya dipakai sat adegan
komedi yang lucu mengocok perut.
Beruntunglah nasib tari, lagu dan musik tradisional yang
telah berhasil menyesuaikan diri dengan alam modernisasi.
Dia sukses diterima sebagai khazanah Minang moderen. Hasil
kreasinya telah berkiprah digelanggang Nasional maupun
Internasional. Sementara Randai tertegun dipersimpangan
jalan antara konvensional dan modefikasi. Jika randai tak
segera merombak diri, nasibnya akan merana bak “kerakap
manjat batu”. Satu saat dan itu pasti, dia akan mati tak
berkubur. Ada semacam keengganan dari orang tua-tua agar
Randai “berganti baju”. Katanya itu dianggap dosa merubah
hasil usaha ninik moyang sebagai warisan barang pusaka. Para
seniman kontemporer menanggapi bahwa itu pikiran kaku
ketinggalan zaman. Apa artinya sebuah karya seni kalau tak
dapat dinikmati oleh masyarakat kekinian, lantas buat siapa
barang antik itu? Belajarlah dari Lenong Betawi atau Ludruk
Jawa timur. Mereka tetap hidup segar di tengah masyarakatya
sendiri. Mengapa?
Karena seniman punya keberanian keluar dari
kungkungan kultural zaman baholak. Suka tidak suka harus
diakui bahwa perbendaharaan seni Randai sudah kuno dan
harus dirombak. Dialog berhandai-handai tak lagi disukai
orang-orang sekarang. Membosankan, gerak aktingnya
monoton. Tema cerita itu-itu saja, kejadian dari zaman antah
barantah. Lawakannya konyol tak bermutu. Walaupun
demikian harus diakui bahwa Randai memang berada dititik
dilema. Dulu pernah ada pihak yang ingin mengadakan
pembaruan dengan menyodorkan cerita kontemporer
bertema pembangunan. Tapi karena settingnya kurang tepat
sehingga terlihat janggal, terlalu dipaksakan. Pernah juga
184
Yus Dt. Parpatih