Page 262 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 262
walaupun salah. Membantah sabda beliau dinamakan
“mblelo”; itu kualat, pamali atau dosa. Pendeknya apa yang
dikatakan para sesepuh wajib diterima dengan sifat samikna
wa atho’na mengangguk saja walau batin menolak. Harus
merunduk-runduk atau jalan ngesot. Barangkali itu sebabnya
masyarakat di sana gampang diatur, tidak seperti
Minangkabau yang bebas mengkritisi kebijakan pemimpinnya.
Agaknya prinsip persamaan itu penyebab Minangkabau
tak pernah mengenal apa yang dinamakan kultus individu, sifat
taklid buta seolah-olah seseorang dikategorikan manusia
super tak pernah salah. Sampai setelah meninggalpun tetap
diagungkan. Maka diziarahilah kuburannya. Hal seperti ini
hampir tak ditemui di Minangkabau. Kecuali hanya dua makam
Ulama saja yang diziarahi tiap tahun. Yaitu makam Syekh
Buhanuddian di Ulak’ an Pariaman dan kuburan Tuanku Aluma
di Koto Tuo, Bukittinggi. Yang lain kalaupun ada tapi tidak
seramai di sana. Kita tidak tahu apakah niat para penziarah itu
untuk mohon berkah atau mintak petunjuk sebagaimana
lazimnya kunjungan ke tempat-tempat keramat di pulau Jawa.
Di sana orang berbondong-bondong menziarahi makam
Wali Songo untuk bermohon apa yang mereka inginkan. Ada
Yang mintak kaya, mintak jodoh dan lain-lain permintaan.
Mereka mintak kekuburan bukan kepada Allah. Padahal secara
logika, menghormati sang Kiyai atau Guru bukanlah dengan
mengagungkan tulang belulangnya, tapi mengamalkan fatwa-
fatwa almarhum semasa hidup. Yang dianjurkan dalam
menziarahi kubur adalah mendoakan orang yang di dalamnya,
semoga Allah menerima amalan dan mengampuni
kesalahannya. Sebab siapapun dia pasti tak bebas dari
kesalahan dan kekhilafan.
Menyingkap Wajah 233
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya