Page 76 - Buku Menyikapi Wajah Minangkabau
P. 76
bukan “Syarak Basandi Adat”. Syarak memang datang
belakangan tapi diposisikan menjadi landasan rumah.
4. Pepatah yang Paradoksal
“Ternyata orang Minang itu tidak konsisten dalam
pendirian. Mereka membuat pepatah sebagai pola pikir yang
kadang bersebrangan satu dan lainnya. Satu saat dikatakannya
adat itu bersifat anti abadi anti perubahan. Pepatahnya: Tak
lekang oleh panas tak lapuk oleh hujan. Betapa gagahnya
kekuatan adat menantang zaman. Tapi diwaktu lain terdegar
pepatah yang menggambarkan sikap positif tanpa daya,
bunyinya: Sekali air bah sekali tepian berubah. Bahwa dengan
kehadiran gelombang perubahan, adat itu berubah total atas
kehendak kekuatan luar. Menyerah tanpa syarat! Bukankah ini
sebuah sikap paradoksal yang membingungkan?”
Bandingan
Sakali Aia Gadang Sakali Tapian Barubah, pepatah ini
sangat populer dan sekarang sudah menjadi perbendaharaan
komunikasi nasional. Bahwa dengan kedatangan banjir,
beberapa lekukan tepi sungai telah diratakan oleh arus dari
hulu. Terjadi perubahan untuk akibat kehendak alam yang
tidak terbendung. Tapi yang berubah itu hanyalah tepian;
bukan sungainya. Sedangkan sungai sebagai kumpulan air
tetap tak berubah. Sebab biasanya air mengalir dari hulu ke
muara. Betapun besarnya banjir, zat air itu selalu bersih dan
membersihkan. Sifatnya seperti dulu mencari tempat yang
lebih rendah. Semuanya itu merupakan “nilai” bagi sungai.
Ibarat sebuah pigura, tepian itu bingkai. Kalau tadinya terbuat
dari bambu, kemudian dari kayu sekarang dari plastik,
silahkan saja bagaimana eloknya. Yang penting asalkan tulisan
Menyingkap Wajah 47
Minangkabau
Paparan Adat dan
Budaya