Page 21 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 21
kepalanya dihempaskan ke lubang kloset, dipaksa untuk
menikmati rendaman sisa muntahnya sendiri.
Winda mencoba memberontak, kedua tangannya
mencakar, meraba-raba dalam kepanikan, mencari
pegangan. Air memasuki rongga hidungnya, masuk ke
mulutnya, dia mencoba menjerit tetapi suaranya hilang
dalam genangan muntahnya sendiri. Pandangannya mulai
kabur, kakinya menendang ke kiri dan kanan,
pergulatannya sia-sia.
Tak berapa lama, sepasang tangan yang mencengkram
kepalanya tersebut menariknya ke permukaan,
membuatnya bisa sedikit menghirup udara segar. Winda
baru akan mencoba berbicara, ketika tangan itu
menghempaskan kepalanya ke arah dudukan kloset yang
terbuat dari porselin. Hempasan pertama membuatnya
berada di ambang kesadarannya, bercampur rasa nyeri di
kepalanya.
Inikah akhir hidupku, kata Winda dalam hati.
Hempasan kedua membuat dunianya menjadi hitam
pekat, membungkam rasa takut dan suaranya untuk
selama-lamanya.
“Aaaaaarrrggghhhh! Aaaaaaaarrrrggghhh!” teriak Meri
sambil melepaskan tangannya dari kepala Winda,
membiarkan tubuh yang kini tak bernyawa di hadapannya
itu tergeletak di lantai.
Meri melihatnya, lantas tertawa terbahak-bahak. Ini
adalah kepuasan baru yang dirasakannya. Suara tawanya
19