Page 211 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 211

pak,  dan  bu  sebagaimana  pada  teks  Bapak  dan  ibunya  juga  selalu  mengajak

                        maryam ke pengajian orang-orang Ahmadi... (Madasari, 2012, hlm. 57).
                             Gaya bahasa yang digunakan Okky Madasari dalam novel ini cukup beragam,

                        misalnya  majas  hiperbola,  simile,  sinisme.  Okky  lebih  sering  menggunakan

                        hipebola  pada  situasi  dan  kondisi  yang  tepat  sebagai  upaya  dirinya  untuk
                        mengungkap suasana hati pada tokohnya. Gaya bahasa sinisme kerap digunakan

                        pula  oleh  Okky  manakala  tokoh  Maryam  menggunakan  tuturan  dialog  dengan
                        masyarakat yang membenci dan mengusir jemaah Ahmadiyah sebagaimana pada

                        teks,  “Tapi  itu  rumah  kami,  Pak.  Bukankah  kita  punya  hukum?  Siapa  yang

                        mengganggu dan siapa yang diganggu? Maryam balik bertanya (Madasari, 2012,
                        hlm. 248 - 249).

                             Simbol  dalam  novel  Maryam  ditandai  dengan  simbol  Ahmadiyah  sebagai
                        sebuah kekuatan minoritas dalam mayoritas bangsa Indonesia yang berkeyakinan

                        Islam.  Ketika  memperoleh  pengusiran,  pengucilan,  dan  penyerangan  dari
                        masyarakat sekitar, mereka masih tak bergeming pada keyakinannya. Meskipun

                        kelompok mereka harus menjalani hidup yang tak menentu dengan bernomaden

                        dari satu penampungan ke penampungan yang lainnya. Simbolisme mereka ada
                        pada kekuatan tetap bersatu, dan tidak bergeming dari keyakinan mereka sebagai

                        Ahmadiyah.
                             Ironi verbal dalam novel Maryama dalah upaya-upaya yang dilakukan para

                        jemaah Ahmadiyah untuk mendapatkan kembali rumah mereka yang telah lama

                        ditinggalkan di kampung halaman mereka. Namun upaya-upayanya tersebut tak
                        pernah memperoleh respon positif dari pemerintah setempat. Mereka terus bertahan

                        dalam  sebuah  penampungan  selama  bertahun-tahun,  dan  harus  tidur  di  lantai
                        gedung penampungan bersama belasan kepala keluarga. Fasilitas gedungnya sangat

                        minim dan tak layak untuk kehidupan sehari-hari setiap keluarga. Tak ada pihak

                        terkait yang benar-benar memperdulikan nasib mereka ke depannya. Upaya yang
                        mereka lakukan dengan  mendatangi gubernur dan berbicara  langsung pun  tetap

                        mengalami jalan buntu.









                                                                                                    205
   206   207   208   209   210   211   212   213   214   215   216