Page 102 - A Man Called Ove
P. 102
Fredrik Backman
kebebasan ketika melakukan sebuah pekerjaan. Memegang
benda-benda dengan kedua tangannya sendiri dan melihat
hasil upayanya. Ove belum pernah membenci sekolah, tapi
dia belum melihat kegunaannya juga. Dia suka matematika,
dan dua tahun akademik lebih maju dibanding teman-teman
sekelasnya. Sementara, mengenai semua mata pelajaran
lainnya, sejujurnya dia tidak begitu peduli.
Namun pekerjaan adalah sesuatu yang benar-benar
berbeda. Sesuatu yang jauh lebih cocok untuknya.
Ketika mengabsen untuk pulang dari giliran kerja
terakhirnya, pada hari terakhir itu, Ove merasa sedih. Bukan
hanya karena harus kembali ke sekolah, tapi karena baru
terpikir olehnya bahwa dia tidak tahu cara mencari nafk ah.
Tentu saja ayahnya hebat dalam banyak hal, tapi Ove harus
mengakui bahwa lelaki itu tidak meninggalkan banyak harta
kecuali rumah bobrok, mobil Saab tua, dan arloji penyok.
Derma dari gereja ditolaknya, seharusnya Tuhan tahu sekali
soal itu. Dan itulah yang dikatakan Ove kepada dirinya sendiri
saat di ruang ganti, mungkin demi kepentingan dirinya sendiri
sekaligus demi kepentingan Tuhan.
“Jika kau benar-benar harus mengambil Mum dan Dad,
simpan saja uang sialanmu!” teriak Ove pada langit-langit.
Lalu dia mengemasi barang-barangnya dan pergi. Apakah
Tuhan atau orang lain mendengarkan dia tidak pernah tahu.
Namun ketika Ove keluar dari kamar ganti, seorang lelaki dari
kantor direktur utama sudah berdiri di sana menunggunya.
“Ove?” tanya lelaki itu.
97