Page 99 - A Man Called Ove
P. 99
A Man Called Ove
di pojok gudangnya. Sejenak kemudian, si Hamil dan si
Kerempeng juga pergi.
Dan yang tersisa hanyalah keheningan lorong rumah Ove.
Ove menjatuhkan tubuh ke atas dingklik, napasnya
tersengal-sengal. Tangannya masih gemetar, seakan sedang
berdiri di dalam air sedingin es setinggi pinggang. Dadanya
berdentam-dentam. Ini terjadi semakin sering belakangan ini.
Dia harus sedikit berjuang untuk menghela napas, seperti ikan
dalam mangkuk terbalik. Dokter perusahaan mengatakan
penyakitnya kronis dan dia tidak boleh kelelahan. Mudah
baginya untuk berkata begitu.
“Sebaiknya kau pulang dan beristirahat,” kata bos-bos
Ove di tempat kerja. “Kini jantungmu bermasalah.”
Mereka menyebutnya “pensiun dini”, tapi sebenarnya
bisa saja mereka berkata jujur. “Likuidasi”. Sepertiga abad
bekerja di tempat yang sama, tapi itulah ganjaran yang mereka
berikan kepadanya.
Ove tidak yakin berapa lama dia berada di dingklik itu,
duduk dengan bor di tangan dan jantung berdentam-dentam
begitu keras hingga denyutnya terasa di dalam kepala. Ada
foto Ove dan Sonja di dinding, di samping pintu depan. Usia
foto itu sudah hampir empat puluh tahun. Saat itu, mereka
berada di Spanyol, mengikuti tur dengan bus. Sonja berkulit
kecokelatan, bergaun merah, dan tampak sangat bahagia. Ove
berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya. Agaknya,
Ove telah duduk di sana selama satu jam, hanya menatap
foto itu.
94