Page 142 - A Man Called Ove
P. 142
Fredrik Backman
istrinya. Dia hanya tidak ingin merasa jengkel gara-gara
kucing keparat. Itu saja.
Sirene ambulans yang mendekat terdengar di kejauhan,
tapi Ove nyaris tidak memperhatikan. Dia hanya masuk ke
kursi pengemudi dan menyalakan mesin. Membuka jendela
otomatis di bagian belakang sekitar lima sentimeter. Keluar
dari mobil. Menutup pintu garasi. Memasang selang plastik
itu erat-erat pada knalpot. Mengamati asap knalpot yang
perlahan-lahan menggelegak keluar dari ujung selang yang
satunya. Lalu, memasukkan selang itu lewat jendela belakang
yang terbuka. Masuk ke mobil. Membetulkan kaca-kaca spion
samping. Memutar tombol pencari stasiun radionya selangkah
ke depan dan selangkah ke belakang. Bersandar di kursi.
Memejamkan mata. Merasakan asap knalpot tebal itu, satu
sentimeter kubik demi satu sentimeter kubik, memenuhi
garasi dan paru-parunya.
Seharusnya tidak seperti ini. Kau bekerja, membayar
cicilan, membayar pajak, dan melakukan yang seharusnya
kau lakukan. Kau menikah. Dalam suka dan duka hingga
maut memisahkan. Bukankah itu yang mereka setujui? Ove
ingat itu dengan cukup jelas. Dan seharusnya bukan istrinya
yang meninggal terlebih dahulu. Sialan. Bukankah seharusnya
sudah dipahami dengan baik bahwa kematiannya yang mereka
bicarakan? Benar, kan?
Ove mendengar gedoran di pintu garasi. Mengabaikannya.
Merapikan lipatan-lipatan celana panjang. Memandang
dirinya sendiri di kaca spion. Bertanya-tanya, apakah dia
seharusnya mengenakan dasi. Istrinya selalu suka ketika Ove
137