Page 45 - A Man Called Ove
P. 45

A Man Called Ove

            belakang. Earphone putihnya terlepas dari telinga dan jatuh
            di dasbor. Ove mengangguk puas.

                Lampu lalu lintas berubah hijau.  Antrean itu tidak
            bergerak. Ove membunyikan klakson. Tidak terjadi apa pun.
            Ove menggeleng-gelengkan kepala. Pasti ada pengemudi
            perempuan. Atau perbaikan jalan. Atau mobil Audi.
                Ketika tiga puluh detik berlalu tanpa terjadi sesuatu pun,
            Ove memindahkan persneling ke posisi netral, membuka
            pintu mobil, dan melangkah keluar dari Saab dengan mesin
            masih menyala. Dia berdiri di jalanan dan mengintip ke depan
            sambil berkacak pinggang, dipenuhi semacam kejengkelan
            luar biasa: seperti gaya berdiri Superman—seandainya
            pahlawan super itu terjebak dalam kemacetan lalu lintas.

                 Lelaki di dalam Mercedes membunyikan klakson.
            Idiot, pikir Ove. Pada saat bersamaan, lalu lintas mulai
            bergerak. Mobil-mobil di depan Ove bergerak maju. Mobil
            di belakangnya, sebuah Volkswagen, mengedipkan lampu
            depan. Pengemudinya melambai-lambaikan tangan kepada
            Ove dengan tidak sabar. Ove membalas dengan memelotot.
            Dia memasuki Saab dan menutup pintunya dengan santai.
                “Menakjubkan betapa terburu-burunya kita,” dengusnya
            pada kaca spion, lalu dia menjalankan mobil.
                Di lampu merah berikutnya, Ove kembali berada di
            belakang Mercedes itu. Mengantre lagi. Ove menengok arloji
            dan berbelok ke kiri memasuki jalanan yang lebih kecil dan
            sepi. Ini mengakibatkan rute lebih panjang menuju pusat
            perbelanjaan, tapi lampu lalu lintasnya lebih sedikit. Bukannya
            Ove kikir. Tapi, siapa pun yang mengetahui segalanya pasti



                                       40
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50