Page 91 - A Man Called Ove
P. 91
A Man Called Ove
“Mau cari di Google saja atau apa?”
“Tentu! Carilah di Google! Cari di Wikipedia!”
“Mana ponselmu?”
“Pakai punyamu sendiri!”
“Tidak kubawa, Dasar Tolol!”
“Salah sendiri!”
Sementara perdebatan payah itu terus berlangsung, Ove
memandang mereka. Mereka mengingatkan Ove pada dua
radiator yang gagal berfungsi, yang merengek nyaring satu
sama lain.
“Astaga,” gumamnya.
Parvaneh mulai menirukan bebunyian yang dianggap
Ove sebagai semacam serangga terbang. Dia menciptakan
suara mendesing dengan bibirnya untuk menjengkelkan
suaminya. Itu cukup berhasil. Baik terhadap si Kerempeng
maupun Ove. Ove menyerah.
Dia masuk ke lorong, menggantung jas, meletakkan bor
listrik, memakai kelom, lalu berjalan melewati mereka berdua
menuju gudang. Dia yakin sekali mereka berdua bahkan tidak
menggubrisnya. Dia mendengar mereka masih bertengkar
ketika mulai berjalan mundur dengan membawa tangga.
“Ayo, bantu dia, Patrick,” ujar Parvaneh ketika melihat
Ove.
Si Kerempeng maju beberapa langkah menghampiri
Ove dengan gerakan canggung. Ove mengawasinya, seakan
mengamati lelaki buta mengemudikan bus kota yang penuh
sesak. Dan baru setelah itulah Ove menyadari, ketika dia
86