Page 105 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 105

www.rajaebookgratis.com





               provinsi  dengan  kecepatan  tinggi.  Mamak  dirawat  di  sana.  Berlarian  sepanjang  koridor.
               Sejenak  tidak  mempedulikan  Intan  (yang  teganya)  malah  puf  di  saat-saat  penting  tersebut
               Membuat bau tidak sedap dalam mobil balap Ikanuri.l Menerobos pintu paviliun.
                   Dan langkah-langkah mereka terhenti. Berdiri terdiam, berusaha mengendalikan nafas, di
               depan pintu ruang rawat Mamak. Lihatlah, Mamak terbaring lemah di atas ranjang. Pucat.
               Kak Laisa yang duduk menunggui berdiri melihat adik-adiknya datang.
                   Yashinta yang pertama kali menghambur. Memeluk Kak Laisa, bertanya cemas, berseru
               cemas, gemetar mendekat. Menatap wajah Mamak yang sedang tertidur. Dua belalai plastik
               membalut lengan. Peralatan medis yang berdesis pelan. Dalimunte ikut mendekat, menelan
               ludah. Ikanuri dan Wibisana kehilangan kata-kata. Hanya Cie Hui yang sibuk mengendalikan
               Intan  (yang  seperti  biasa  berseru-seru  senang  setiap  kali  melihat  Wak  Laisa  dan  Eyang
               Lainurinya, tidak peduli apakah yang dilihatnya lagi sehat atau lagi sakit)
               "A-pa, a-pa.... Mamak baik-baik saja?"
               Yashinta bertanya gugup. Gemetar berusaha meraih jemari Mamak.
                   Kak Laisa tersenyum, menenangkan, membimbing adiknya duduk di kursi. Mengangguk,
               "Masa  kritis  Mamak  sudah  lewat....Kata  dokter  Mamak  sudah  terkendali,  sudah  mulai
               membaik—"
               Terlihat  sekali  bagaimana  ekspresi  wajah  empat  kakak  beradik  itu  berubah.  Dalimunte
               langsung  mendekap  Ikanuri  dan  Wibisana.  Menghela  nafas  panjang.  Tersenyum  lega.
               Yashinta malah menangis. Tersedu. Wahai, rasa lega dan kebahagiaan itu dekat sekali dengan
               tangis.  Kalian  akan  menangis  karena  perasaan  lega  yang  luar  biasa.  Bagaimana  tidak?
               Yashinta harus menanggung rasa cemas sejak dua belas jam lalu. Penerbangan langsung dari
               Sorong.  Transit  sebentar  di  Jakarta.  Wajah  Mamak  dengan  rambut  berubannya  terus
               terbayang di jendela pesawat, saat menatap biru lautan. Membuatnya mengaduh berkali-kali
               dalam perjalanan.
                   Yashinta menyeka pipinya. Menatap wajah Mamak yang tertidur pulas. Wajah itu masih
               pucat,  tapi  Kak  Laisa  benar,  hela  nafas  Mamak  sudah  terkendali.  Rona  muka  Mamak
               tenteram.  Yashinta  menciumi  jemari  Mamak.  Mendekapnya  ke  pipi.  Seperti  tidak  pernah
               bertemu bertahun-tahun lamanya, padahal mereka baru saja pulang sebulan yang lalu.  Dan
               Yashinta menangis lagi. Ia tadinya sungguh takut. Takut kehilangan. Dalimunte mendekap
               kepala adiknya. Menenangkan. Ikanuri dan Wibisana ikut menyeka matanya yang berkaca-
               kaca.  Belum pernah mereka merasa begitu dekat dalam keluarga. Begitu mencintai satu sama
               lain. Dan begitu takut kehilangan satu sama lain.
                   Ya  Allah,   mereka   sungguh   saling  mencintai   karena Engkau.
                   Intan  mendadak  menangis  kencang-kencang.  Terlupakan.  Gadis  kecil  itu  sibuk  protes.
               Menggerak-gerakkan  pantatnya.  Apalagi  kalau  bukan  untuk  membuat  bau  tak  sedap  itu
               menguar di ruangan rawat Eyangnya. Sibuk mencari perhatian.
                   Satu jam berlalu, Cie Hui membawa Intan ke pengalengan strawberry di kota provinsi.
               Ada  penginapan  karyawan  di  sana.    Mengganti  popok  Intan  yang  super  bau.  Beristirahat.
               Yashinta  meski  tidak  mau  meninggalkan  Mamak,  meski  memaksa  tetap  menunggui,
               menjelang malam ikut menyusul, ia terlampau lelah dengan perjalanan jarak jauh. Dan Kak
               Laisa menyuruhnya istirahat, "Mamak akan baik-baik saja Yash.... Kalau kau juga jatuh sakit,
               kau hanya akan menambah masalah—"
               Sejak dulu Yashinta selalu menurut dengan Kak Laisa.
                   Menyisakan Laisa, Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana di ruang rawat Mamak. Duduk di
               kursi  plastik  yang  diberikan  perawat.  Dokter  yang  merawat  Mamak  ternyata  mengenali
               Profesor Dalimunte, tertawa lebar, bahkan menawarkan ruang rawat terbaik di rumah sakit itu
               saat melakukan pemeriksaan jam sembilan tadi.
               Senyap.
   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110