Page 110 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 110

www.rajaebookgratis.com





                   Dalimunte  yang  sedang  berbicara  dengan  dokter  tentang  kondisi  terakhir  Kak  Laisa
               mengangguk seadanya.
               "Sudah sampai di mana, sih? Kok nggak ada kabar-kabarnya seperti Oom Ikanuri dan Oom
               Wibisana?" Intan bertanya lagi. Lebih serius, ingin  tahu.
                   Dalimunte kali ini benar-benar menoleh ke putrinya. Terdiam. Sudah sampai di mana?
               Menelan ludah. Malam tiba untuk ke sekian kalinya di lembah itu. Hujan gerimis turun sejak
               maghrib.  Mereka  sudah  shalat  berjamaah  (kecuali  Juwita  dan  Delima  yang  memaksa  ikut
               shalat  gaya  duduk  Wawak  Laisa).  Sudah  makan  malam,  meski  makannya  di  kamar  Wak
               Laisa. Menghampar sembarang di lantai. Yang penting tetap bersama.
                   Kondisi Wak Laisa tidak memburuk, juga tidak membaik. Ia sepanjang pagi bisa duduk
               bersandarkan bantal, tapi setelah siang, karena lelah, kembali tiduran. Batuknya masih. Juga
               bercak darah yang ikut keluar. Intan telaten membersihkan dengan tissue. Juwita dan Delima
               sih dari tadi ingin ikut-ikutan, tapi Kak Intan melotot. Menyuruh mereka menyingkir. Siang
               itu Bang Jogar  menghentikan  membaca  yasin di surau dan  beranda rumah. Mereka  masih
               berkumpul di bawah panggung, tapi satu dua menjelang malam kembali ke rumah masing-
               masing. Semoga Laisa terus membaik.... Begitu masing-masing berdoa dalam hati.
               "Yeee, Abi kok malah melamun?" Intan berseru, nyengir.
               Dalimunte mengusap wajahnya. Menelan ludah sekali lagi.
               "Tante Yash masih di jalan, sayang —"
               Kak  Laisa  yang  justru  menjawab.  Suaranya  sedikit  serak.  Matanya  yang  tadi  terpejam,
               perlahan terbuka.
               Tersengal. Menatap Intan lamat-lamat.
                   Dalimunte yang masih berdiri di depan dokter terdiam. Apa yang hendak dikatakan Kak
               Laisa? Apa maksud kalimat Kak Laisa baru saja. Dia tahu persis, Kak Laisa sengaja menahan
               diri sejak kemarin untuk bertanya di mana Yashinta sekarang. Setelah lebih sehari semalam,
               tanpa kabar pasti di mana posisinya, orang yang paling ingin tahu di mana Yashinta sekarang
               jelas adalah Kak Laisa.
               "Emangnya Wak Laisa tahu? Kan Wawak sejak tadi tidur;'"
               Intan menyeringai. Beringsut mendekat.
               Laisa berusaha mengangguk.
               Tersenyum.
                   Tentu saja ia tahu. Kedekatan adik-kakak itu sungguh menembus batas-batas akal sehat.
               Tentu saja Laisa tahu.... Itulah kenapa dia tidak  bertanya ke Dalimunte di  mana Yashinta,
               adik terkecilnya, berada sekarang.
                   Karena Laisa tahu persis di mana Yashinta saat ini.
                   Bagaimana tidak? Lima belas jam ]alu, tepatnya saat ia shalat shubuh sambil duduk tadi
               pagi, ia baru saja membangunkan adiknya. Membelai lembut dahi Yashinta yang cemerlang.
               "Ia bukan kakak kita!" Ikanuri berbisik kasar. Mukanya terlihat sekali sebal,
               "Kenapa ia harus sibuk melarang-larang. Bah!"
                   Wibisana yang berdiri di sebelahnya hanya diam. Tidak cakap apapun. Hanya tertunduk.
               Malam  itu  Ikanuri  dan  Wibisana  dihukum  tidur  di  bale  bambu  bawah  rumah  panggung.
               Malam beberapa bulan setelah kejadian di Gunung Kendeng itu. Dua sigung nakal itu lagi-
               lagi  bolos  sekolah,  padahal  Mamak,  Kak  Laisa,  dan  Dalimunte  sibuk  mengurus  kebun
               strawberry. Tidak hanya sibuk, tapi cemas apakah kali ini mereka akan berhasil atau gagal
               total. Dua sigung bebal itu malah asyik bermain ke kota kecamatan.
               "Kenapa sih ia harus sibuk lapor Mamak.... Sok ngatur. Lihat, dua tiga tahun lagi, pastilah
               kita lebih tinggi dibanding tubuh pendeknya...."
               Ikanuri bergelung, terus ngomel. Gerimis membasuh lembah. Deru angin lembah membawa
               rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur.
               "Pendek! Hitam! Jelek!" Puas sekali Ikanuri mendesis.
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115