Page 108 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 108

www.rajaebookgratis.com





               tahun.  Sejak  sulungnya  bersumpah  untuk  selalu  terlihat  baik-baik  saja  di  hadapan  adik-
               adiknya, maka Laisa bersungguh-sungguh dengan sumpahnya. Mamak tertunduk, menyeka
               bercak darah di baju Laisa. Urung memanggil Dalimunte.
               "Tapi kau harus segera ke dokter, Lais—"
               "Tidak  usah,  Mak.  Tidak  sekarang....  Mereka  akan  bertanya-tanya  kalau  aku  tidak  ada  di
               rumah...."
               Laisa menggeleng. Dan bukankah ia selalu ada ketika adik-adiknya perlu selama ini?
               "Kau  harus ke dokter, Lais.... Lihatlah darah  ini...." Mamak  menelan  ludah,  menatap getir
               bercak darah di baju Laisa.
                   Pagi itu Laisa mengalah, akhirnya diam-diam berangkat ke kota kabupaten. Diantar sopir
               pengalengan  strawberry.  Ke  rumah  sakit.  Sempat  pingsan  di  ruang  ICU,  karena  ia  terlalu
               lemah. Membuat sopir pabrik pengalengan  yang  mengantar bingung tujuh keliling, gugup,
               gemetar  hendak  menelepon  Dalimunte,  tapi  pesan  Laisa  di  mobil  sebelum  mereka  turun
               membuat dia takut melakukannya. Dua jam dirawat di ruang Gawat darurat, dengan semangat
               sembuh  yang  sungguh  mengagumkan,  memaksa  seluruh  bagian  tubuhnya  menurut,  Laisa
               mulai membaik,
               "Aku  harus  pulang,  Dok.  Tidak  ada  pilihan  lain.  Besok  Ikanuri  dan  Wibisana  menikah,
               bagaimana mungkin aku tidak di sana?" Laisa menggeleng tegas saat Dokter memaksanya
               untuk dirawat inap. Laisa benar-benar memaksa tubuhnya menurut. Ia pulang sore itu juga.
               Dengan muka masih pucat. Dengan tubuh masih lemah. Menggunakan  sisa-sisa tenaganya.
               Berseru lirih di senyapnya mobil membelah jalanan menuju perkebunan,
               "Ya Allah, aku mohon, meski hamba begitu jauh dari wanita-wanita mulia pilihanmu, hamba
               mohon kokohkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra saat berlarian dari Safa- Marwa....
               Kuatkanlah kaki Laisa seperti kaki Bunda Hajra demi anaknya Ismail.... Mereka tidak  boleh
               melihat aku sakit..."
               Satu titik air mata mengalir di pipinya.
               Itu juga doa Laisa ketika menerobos hujan badai saat Yashinta sakil, ke kampung atas, ketika
               kakinya  bengkak  menghantam  tungul  kayu.  Ketika  sendi  mata  kakinya  bergeser.  Itu  juga
               doanyna di Gunung Kendeng. Itulah doa yang paling disukai Laisa. Doa-doa itu mengukir
               langit.
                   Energi pengorbanan itu sungguh luar biasa (untuk tidak mengharukan), jika kalian bisa
               melihatnya  seperti  nyala  api,  maka  mungkin  energi  itu  bisa  membuat  terang  benderang
               seluruh Lembah Lahambay. Malam itu Kak Laisa sudah kembali riang bersama yang lain.
               Duduk di beranda depan, membuat kue kecil-kecil bersama tetangga. Intan duduk manis di
               pangkuannya. Satu kue untuk Intan, Satu kue masuk toples. Kak Laisa tertawa lebar.
                   Mengusir fakta kanker paru-paru stadium satu.
                   Ikanuri dan Wibisana menghabiskan masa bulan madu mereka di perkebunan strawberry.
               Baru selepas itu kembali ke kota seberang pulau. Mengurus bengkel. Kak Laisa memberikan
               modal tambahan untuk mulai membangun pabrik suku cadang mereka. Berpesan agar mereka
               tidak terlalu sibuk dengan bengkelnya, hingga mengurangi perhatian ke istri masing-masing.
                   Dalimunte  kembali  ke  ibukota  lepas  satu  minggu  dari  acara  pernikahan.  Intan
               menyeringai riang, melambaikan tangan ke Wawak dan Eyangnya,
               "Da-da-" Dan kemudian menangis kencang-kencang di mobil. Ia sih tidak mengerti kalau da-
               da  itu  maksudnya  lambaian  perpisahan.  Dikiranya  hanya  da-da  doang.  Memaksa  balik
               kembali ke perkebunan strawberry. Tapi Dalimunte dan Cie Hui hanya tertawa. Sejak kecil
               Intan selalu paling semangat pulang ke lembah. Di sana ia benar-benar menikmati memiliki
               Wawak dan Eyang yang baik hati. Yang selalu membelanya, meski ia nakal minta ampun.
                   Yashinta  pulang  dua  hari  kemudian.  Ia  sudah  bekerja  di  lembaga  konservasi,  Bogor.
               Mulai melibatkan diri di berbagai riset, program perlindungan, dan sebagainya tentang alam
               sekitar. Ia juga sudah menjadi koresponden foto majalah National Geographic. Sudah punya
   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113