Page 113 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 113

www.rajaebookgratis.com





               Yashinta  mengangguk,  merengkuh dua  belas  batang umbut rotan (ujung rotan  yang  masih
               muda).  Di  potong  potong  sepanjang  enam  jengkal.  Bisa  disayur.  Bisa  juga  dijual  ke  kota
               kecamatan. Harganya lumayan mahal.
                   Kak Laisa pagi ini mengajak Yashinta mencari umbut rotan di pinggir  hutan. Sekalian
               melihat lima anak berang-berang itu lagi.
                   Sebenarnya Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup kuat mengangkat dua belas potong
               umbut rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih sakit, masih dibebat kain, jadi ia memutuskan
               mengangkut segitu. Biar beban Kak Laisa banyak.
               Terhuyung. Tubuh kedl Yashinta terhuyung.
               "Kau benaran kuat, Yash?"
               "He-eh."
               Yashinta mengangguk lagi. Berpegangan kokoh ke ranting semak belukar. Menggigit bibir.
               Lantas  mulai  melangkah.  Sebentar  lagi  ia  juga  terbiasa  kok  dengan  berat  ini.  Awalnya
               bergetar, tapi perlahan kakinya  mulai  mantap  menyusuri  jalan  setapak. Tuh kan, Yashinta
               kuat kok. Nyengir. Kak Laisa yang berjalan di belakangnya tersenyum.
                   Suara burung semakin ramai menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing berlarian di
               dahan-dahan  tinggi.  Kecipak  suara  air  mengalir  di  sungai  kecil  terdengar  menyenangkan,
               Yashinta mulai ikut bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali berang-berangnya.
               "Kau minggu depan mau ikut Kakak lagi ambil umbut rotan?"
               "He-eh."
               Yashinta langsung menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa.
                   Mereka tiba di anak sungai  yang  lebih  lebar. Harus  meniti  jembatan kayu  kecil  untuk
               menyeberanginya. Yashinta kembali bersenandung. Semakin lama, dua belas potong umbut
               rotan di pundaknya semakin terasa ringan.
                   Sayang,  seekor  kodok  yang  sedang  mematung  di  jembatan  kayu  itu  tiba-tiba  loncat.
               Yashinta berseru kaget. Kodok itu cueknya justru loncat ke perut Yashinta. Gadis kecil itu
               reflek menghindar. Celaka! Kakinya kehilangan keseimbangan. Berdebum. Tubuhnya yang
               melintir terjatuh dari atas jembatan.
               "YASH!" Kak Laisa berseru tertahan.
                   Tinggi jembatan itu hanya satu meter. Masalahnya air sungai di bawah dangkal, hanya
               sejengkal. Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah tubuh kecil itu terhujam. Dua belas potong
               umbut rotan itu berhamburan. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan, kepala Yashinta
               menghantam bebatuan.
               "YASH! YA ALLAH!" Kak Laisa pias sudah.
                   Tersadarkan dari pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya.
                   Gemetar menuruni jembatan. Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah.
               "YASH.... YASH!"
               Tubuh  adiknya,  ya  Allah,  pelipis  adiknya  berdarah.  Luka.  Cairan  merah  itu  menggenangi
               sungai.  Membuat  garis  panjang.  Kak  Laisa  pias.  Sungguh  pias.  Tangannya  patah-patah
               merengkuh  Yashinta.  Menggendong  ke  tepi  sungai  Tidak  peduli  persendian  mata  kakinya
               bergeser  lagi.  Tidak  peduli  rasanya  amat  sakit.  Kak  Laisa  benar-benar  takut.  Lihatlah.
               Adiknya seketika pingsan.
               "Yash.... Yash, bangun—"
               Gemetar Kak Laisa memeriksa seluruh tubuh Yashinta. Tidak ada yang luka, hanya pelipis.
               Tapi lukanya besar. Robek.
               Melepas  bebat kain di kepala.  Mengelap darah.  Percuma. Darah kembali  mengucur deras.
               Aduh, Kak Laisa semakin gugup.
               "Yash.... Kakak mohon, bangunlah..."  Kak Laisa menangis.
                   Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram jantungnya. Ia sungguh lebih takut
               dibandingkan  saat  kejadian  di  Gunung  Kendeng    lalu.    Ini    semua    salahnya.  Tidak
   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118