Page 112 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 112

www.rajaebookgratis.com





               RRR.
               Tapi  itu  bukan  dengkuran  bahaya.  Itu  dengkuran  penuh  rasa  iba.  Seperti  induk  melihat
               anaknya terluka. Menatap tubuh yang tergolek lemah. Lantas berpulang lagi. Seperti seekor
               penjaga.  Begitu  saja  yang  dilakukan  harimau  besar  itu  dua  puluh  jam  terakhir.  Ya  Allah,
               hanya Wak Burhan yang pernah tahu sejatinya apakah penduduk Lembah Lahambay pernah
               memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar. Ilmu Pesirah itu.
                   Tubuh  itu adalah Yashinta. Gadis  manis, 34 tahun. Yang dua puluh  jam  lalu  bergegas
               menuruni lereng terjal Semeru demi mendengar kabar Kak Laisa sakit keras.
                   Nahas, setetah rekor mendaki 27 gunung di seluruh dunia dengan seluruh stamina fisik
               yang luar biasa, dua puluh jam lalu, kakinya terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah.
               Yashinta  kehilangan  keseimbangan.  Lantas  tubuhnya  mental.  Bagai  burung  tanpa  sayap,
               menghujam  masuk  ke  dalam  lembah  menganga.  Sekali.  Dua  kali.  Berkali-kali  tubuhnya
               menghantam dahan-dahan kayu. Terus jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut
               di ranting pohon, Jatuh lagi. Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit. Lantas meluncur
               ke dasar lembah. Menghantam rerumputan dangkal.
                   Seketika tak sadarkan diri.
                   Telepon genggam satelit itu sudah sejak lima belas detik lalu jatuh menghajar bebatuan.
               Pecah  berhamburan.  Dan  gadis  cantik  itu  tergolek  tak  berdaya  di  atas  rumput.  Sempurna
               terputus dari hingar-bingar dunia. Tidak ada yang tahu. Dua rekan penelitinya tertinggal dua
               ratus meter di belakang. Tidak melihat saat Yashinta jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja
               turun  sambil  mengomel  soal  betapa  cepatnya  kaki  Yashinta.  Lupa  memperhatikan  dahan
               kayu  yang  patah.  Lupa  memperhatikan  jejak  kaki  Yashinta  sudah  tidak  ada  lagi  di  jalan
               setapak.
                   Yashinta dengan muka luka, kaki patah, tergolek tak berdaya. Dua puluh jam lamanya,
               hingga keajaiban itu terjadi. Hingga kecintaan pada saudara karena Allah, rasa berserah diri
               yang  tinggi  kepada  kuasa  langit,  ritual  ibadah  yang  penuh  pemaknaan,  kebaikan  dengan
               sesama, proses bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus batas-batas akal
               sehat itu.
                   Ya! Kak Laisa-lah yang membangunkan Yashinta dari pingsannya.
                   Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh.
                   Pertolongan mahasiwa kedokteran yang sedang KKN itu tepat waktu. Panasnya mereda.
               Batuknya berkurang. Muka pucatnya kembali memerah. Satu minggu kemudian gadis kecil
               itu malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang bergeser
               setelah  menghajar  tunggul  kayu  di  lereng  lembah,  membuatnya  tersiksa  hampir  sebulan.
               Diurut  berkali-kali  oleh  Wak  Burhan.  Benar-benar  ngeri  melihat  Kak  Laisa  diurut.
               Bagaimanalah?  Persendian  itu  dipaksa  kembali  ke  tempat  semula.  Kak  Laisa  menggigit
               gumpalan baju. Matanya berair. Tubuhnya mengejang. Tapi ia tidak berteriak.
                   Dua  sigung  kecil  itu  saja  yang  selama  ini  tidak  peduli  dengan  Kak  Laisa  ikut  jerih
               melihatnya. Dalimunte hanya diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu
               karena memaksakan diri malam-malam menjemput mahasiswa KKN di kampung atas. Tapi
               Kak  Laisa  tidak  mau  membicarakan  kejadian  malam-malam  di  tengah  hujan  Itu  ia  sudah
               kembali  sibuk.  Meski  kakinya  belum  sembuh  benar,  Kak  Laisa  tetap  memaksakan  diri
               bekerja  di  kebun.  Makanya  butuh  waktu  sebulan  untuk  sembuh  total,  karena  lagi-lagi
               persendian itu bergeser.
                   Pagi datang menjelang di Lembah Lahambay.
                   Burung  berkicau  bagai  orkestra.  Kabut  putih  mengambang.  Ditembus  sinar  matahari.
               Berlarik-larik seperti lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi
               desis jangkrik dan ribuan serangga lainnya.
               "Kau benar kuat mengangkat segitu, Yash?"
               "He-eh."
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117