Page 107 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 107

www.rajaebookgratis.com





               rasa.  Ayah,  Ibu,  ijinkanlah  aku  meminangnya...."  Membuat orang  tua  Wulan  dan  Jasmine
               berkaca-kaca (rumah mereka hanya berjarak dua blok). Meski besoknya saat keluarga mereka
               saling  bercerita,  terpaksa  manyun  satu  sama  lain  karena  baru  tahu  kalimat  indah  calon
               menantu mereka fotokopi satu sama l.iin.
                   Urung saling menyombong.
                   Ikanuri  dan  Wibisana  memutuskan  untuk  menikah  di  hari  yang  sama.  Di  Lembah
               Lahambay, lembah indah mereka.

               36
               SAKIT PERTAMA
               KALAU saja ada yang memperhatikan. Itulah gejala pertama sakitnya Kak Laisa yang paling
               terlihat.  Tapi  kebahagiaan  yang  melingkupi  rumah  panggung  atas  pernikahan  'kembar'
               Ikanuri dan Wibisana membuatnya seperti kejadian biasa-hiasa saja.
                   Bang Jogar, yang setahun terakhir sudah menjadi kepala kampung, sibuk meneriaki anak
               muda  yang  sedang  mendirikan tenda-tenda. Sibuk  membuat gerbang  janur kuning. Batang
               pisang  disusun  rapi.  Bertingkat.  Menyusun  pot-pot  bonsai,  Malah  Bang  Jogar  yang  meski
               tampangnya serius, sempat- sempatnya menyuruh mereka membuat tiga patung harimau dari
               janur di  depan gerbang  halaman rumput. Membuat  yang  lain tertawa. Bang Jogar sengaja
               hendak mengenang masa lalu itu.
                   Pagi-pagi di tengah semua kesibukan, Dalimunte sempat berpapasan dengan Kak Laisa di
               beranda  rumah.  Menyelak  ibu-ibu  dan  anak  gadis  tetangga  yang  sedang  duduk  berbaris,
               menyiapkan makanan buat acara besok. Mengiris buncis. Memarut kelapa. Muka Kak Laisa
               terlihat pucat sekali, Dalimunte sebenarnya sudah hendak menegur, bertanya, tapi urung, ada
               rombongan  pembawa  panci  di  belakangnya,  ingin  lewat.  Gulai  opor  mengepul.  Membuat
               terlupakan.
                    Ikanuri  dan  Wibisana  siangnya  juga  mencari  Kak  Laisa,  bertanya  tentang  siapa  saksi
               pernikahan  mereka  besok  Tidak  ada,  Kak  Laisa  tidak  ada  di  rumah.  Di  cari  di  bawah
               panggung tidak ada. Di tenda-tenda juga tidak ada. Mamak yang akhirnya menjawab, dengan
               suara berbeda, suara yang bergetar,
               "Kakak  kalian  sedang  ke  kota  kabupaten,  membeli  kekurangan  bumbu  dapur,  ayam,  dan
               perlengkapan lainnya — "
               Ikanuri dan Wibisana hanya mengangguk, itu biasa terjadi. Selalu Kak Laisa yang belanja,
               menyiapkan  keperluan  pernak-pernik  acara.  Dalimunte  akhirnya  menunjuk  Bang  Jogar
               menjadi saksi.
                   Sore harinya, saat matahari tumbang di barat sana, senja membungkus lembah, Kak Laisa
               baru pulang dari kota kabupaten. Tidak ada bungkusan belanjaan, tidak ada barang-barang
               bawaan, mukanya pucat,
               "Biar,  biar  aku  berjalan  sendiri—"  Berbisik  lemah  pada  sopir  pengalengan  strawberry.
               Melangkah  masuk  ke  halaman,  tetap  tersenyum  menyapa  (dan  disapa  yang  lain).  Bahkan
               Dalimunte yang sedang bicara soal detail acara besok lalai untuk mengenali ada yang ganjil.
               Kebahagiaan dan kesibukan sepanjang hari membuat semuanya terbungkus kabut.
                   Tidak  ada  yang  tahu  kalau  Kak  Laisa  tadi  pagi  terbatuk  berkali-kali  di  kamar  mandi.
               Bercak darah keluar bersama dahak. Tubuhnya melemah. Gemetar memanggil Mamak itulah
               gejala  pertama  sakitnya  Kak  Laisa  yang  paling  terlihat.  Mamak  hendak  memanggil
               Dalimunte.
               "Tidak, Mak.... Jangan beritahu mereka. Jangan. Ini akan mengganggu kebahagiaan Ikanuri
               dan Wibisana.... Bagaimana mungkin mereka harus melihat aku sakit di hari sepenting ini—"
               Kak Laisa tersenggal menarik nafas.
                   Mamak  menatap  sulungnya  lamat-lamat.  Menggenggam  tangan  Laisa  erat-erat.  Mata
               Mamak  yang  keriput  berdenting  air  mata.  Ia  tahu  persis.  Sejak  sulungnya  masih  belasan
   102   103   104   105   106   107   108   109   110   111   112