Page 111 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 111

www.rajaebookgratis.com





                   Desisan yang membuat langkah Yashinta terhenti.
                   Yashinta saat itu sembunyi-sembunyi hendak mengantarkan selimut buat kakaknya, biar
               tidak kedinginan di luar. Desisan yang membuat Yashinta membeku. Saat itu usia Yashinta
               delapan tahun, sudah bisa mengerti banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya tahu satu fakta
               yang akan ia simpan seumur hidupnya. Gemetar Yashinta kembali menaiki anak tangga, ke
               atas.  Urung  memberikan  selimut.  Nafasnya  tersengal.  Kak  Ikanuri  jahat.  Jahat  sekali.
               Menghina Kak Laisa seperti  itu. Ingin rasanya  Yashinta berteriak. Menimpuk  Kak Ikanuri
               dengan bongkahan tanah. Tapi ada hal  lain yang membuatnya lebih sesak: Ia bukan kakak
               kita. Ia pendek. Hitam. jelek. Yashinta berlari masuk ke dalam kamar.
                   Malam  itu  ingin  sekali  Yashinta  langsung  bertanya  pada  Mamak,  bertanya  pada  Kak
               Dalimunte, apa maksud kata-kata Kak Ikanuri  barusan. Apa benar Kak Laisa bukan kakak
               mereka. Tapi mulutnya bungkam. Yashinta tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang
               lain  sudah  jatuh  tertidur  (termasuk  dua  sigung  nakal  di  bawah  rumah),  Yashinta  masih
               terjaga. Ia merangkak mendekati Kak Laisa.
                   Lembut jemari Yashinta mengusap wajah Kak Laisa. Rambut gimbalnya. Wajah dengan
               kulit hitam. Hidung pesek. Mulut Kak Laisa yang sedikit terbuka, memperlihatkan gigi-gigi
               besar,  tidak  proporsional.  Yashinta  menelan  ludah,  Membandingkan  wajah  itu  dengan
               wajahnya  melalui  cermin  peraut  pensil.  Kak  Laisa  sungguh  berbeda....  Tapi  bagaimann
               mungkin Kak Laisa bukan kakaknya?
                   Dan Yashinta entah oleh kekuatan apa, tidak pernah kuasa menanyakan soal itu kepada
               yang lain. Tidak pada Mamak. Tidak pada Kak Dalimunte. Tidak pada dua kakaknya yang
               nakal  itu.  Pernah  ia  hampir  terlepaskan  bertanya  pada  Wak  Burhan,  tapi  segera  menutup
               mulutnya.  Bagaimanalah  kalau  itu  semua  benar?  Bagaimanalah  kalau  Kak  Laisa  memang
               bukan  kakaknya?  Yashinta,  sejak  sekecil  itu  sudah  amat  menghargai  Kak  Laisa.
               Ketakutannya  atas  kemungkinan  jawaban  tersebut,  membuatnya  bungkam  selama  puluhan
               tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah bertanya.Tidak akan ada bedanya.
               Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya.
               "Tapi Tante Yash sekarang sudah di mana, Wak? Kok nggak nyampe-nyampe, sih?" Intan
               bertanya ingin rahu.
                   Yang ditanya tidak menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam.
                   Tertidur.
                   Di manakah Yashinta?

                   Seekor peregrin melenguh.
                   Melintas  kabut  yang  menutupi  lereng  terjal  Semeru.  Kepakan  sayapnya  terlihat  elok.
               Bagai  pesawat  tempur  F-16.  Menderu  membelah  senyap.  Menerabas  pucuk-pucuk  pohon.
               Lantas bagai ballerina sejati, berhenti tepat sebelum menghantam salah satu dahan, anggun
               mendarat. Perfecto, Peregrin itu melenguh lagi. Kemudian loncat menuruni dahan kayu satu
               demi  satu.  Hingga  tiba  di  semak-semak.  Satu  meter  dari  tanah  basah  lereng  Semeru.
               Kepalanya  bergoyang-goyaitg.  Ekornya  bergerak-gerak.  Suaranya  mendesis,  tapi  sekarang
               terdengar seperti cicitan  iba,  menatap ke  bawah. Menatap ke tubuh  yang terbanting, tidak
               sadarkan diri di atas belukar. Tubuh yang tidak sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir.
                   Di sekitar tubuh itu, dua ekor bajing juga ikut mendekat.
                   Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari kesana-kemari.
                   Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari.
                   Berhenti. Ikut menatap tubuh yang tergolek lemah itu. Dan, ya Allah, siapa bilang tidak
               ada lagi harimau jawa di Gunung Semeru? Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka
               itu sudah punah di rimba Semeru seperti sebuah kesia-siaan besar. Lihatlah, seekor harimau
               jawa, yang lebih besar dibandingkan penguasa Gunung Kendeng, berjalan memutari belukar
               itu. Berhenti sejenak. Mendengkur.
   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116