Page 106 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 106
www.rajaebookgratis.com
Ruangan rawat inap itu hening. Hanya menyisakan desis suara pendingin ruangan. Meski
lelah, Dalimunte tidak bisa tidur. Juga Ikanuri dan Wibisana. Kak Laisa perlahan
memperbaiki selimut Mamak. Lantas menatap wajah-wajah kusut adiknya. Tersenyum.
Menarik kursinya mendekati Ikanuri dan Wibisana.
Dua sigung yang tidak kecil lagi itu mengangkat kepala. Menatap Kak Laisa yang
sekarang persis duduk di depannya.
"Ikanuri, Wibisana..." Kak Laisa berkata lembut menyentuh lengan adik-adiknya,
"Kita memang tidak akan pernah tahu.... Tidak pernah bisa menebak, menduga. Tetapi
suatu hari nanti, salah-satu dari anggota kelarga yang amat kita dntai pasti akan pergi. Siap
atau tidak, suka atau tidak...."
Dalimunte mengusap wajahnya.
Menatap Kak Laisa. Tidak mengerti apa yang sebenarnya hendak disampaikan Kak Laisa.
"Lihatlah.... Mamak sekarang tertidur nyenyak.... Begitu damai, begitu tenang, begitu
babagia. Karena Mamak sudah amat bahagia dengan hidupnya. Memiliki kalian, sebagai
anak-anaknya, adalah kebahagiaan terbesar yang tidak pernah dibayangkan Mamak. Mamak
tahun-tahun terakhir amat bahagia nienghabiskan masa tuanya di perkebunan strawberry..."
Ikanuri dan Dalimunte menahan nafas. Tertunduk. Mereka juga tidak mengerti apa yang
hendak dikatakan Kak Laisa. Tapi kalimat-kalimat itu menusuk. Kepergian dari anggota
keluarga yang kita cintai?
"Ikanuri, Wibisana.... Kakak berkali-kali bilang, tidak baik membuat Wulan dan Jasmine
menunggu terlalu lama.... Kalian tidak seharusnya menunggu Kakak. Karena kita tidak
pernah tahu apa yang akan terjadi besok lusa.... Kalau kalian ingin pernikahan kalian masih
sempat dilihat langsung Mamak, sempat disaksikan oleh Mamak, segeralah menikah...
Dengan kebaikan Allah, tentu saja Mamak akan segera sembuh. Esok lusa Mamak akan tetap
bersama kita. Menghabiskan hari tuanya di perkebunan strawberry. Tetapi kalau kalian
tetapkeras kepala menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terjadi...." Kak Laisa
terdiam sejenak. Menatap tulus wajah adik-adiknya.
Ruangan itu hening lagi.
"Kalau kalian tetap keras kepala menunggu Kakak, maka kalian mungkin akan kehilangan
kesempatan membuat Mamak semakin bahagia di masa tuanya. Apa yang dulu sering Kakak
katakan? Pernikahan kalian akan membuat rumah panggung kita lebih ramai. Anak-anak
kalian sungguh akan membuat suasana terlihat berbeda. Lihatlah, Intan, meski tadi membuat
suster ngomel-ngomel, tetap saja wajah imutnya menggemaskan, bukan...."
Kak Laisa tertawa Mengingat kejadian saat Intan nangis kencang-kencang tadi.
Ikanuri dan Wibisana ikut tersenyum.
Malam itu, keputusan penting tersebut akhirnya diambil
Pernikahan kedua dan ketiga di keluarga itu terjadi sebulan kemudian. Mamak pulang
dari rumah sakit setelah dirawat empat hari lagi. Meski masih lemah, tapi wajah Mamak
sudah segar saat kembali. Sakit radang hatinya membaik dengan cepat
"Bagaimana mungkin Mamak sakit? Sakit hati pula. Bukankah selama ini Mamak selalu
bahagia, meski kami bandel dan nakal? Ada-ada saja." Ikanuri bergurau. Membuat yang lain
tertawa.
Ikanuri dan Wibisana kembali ke kota seberang pulau seminggu kemudian. Langsung
meminang Wulan dan Jasmine. Mereka lagi-lagi melakukannya di saat yang bersamaan.
Dengan cara yang sama pula, sama-sama hiperbolik (meski menyentuh), "Ayah, Ibu, aku
tidak bisa menjanjikan banyak hal buat putri kalian. Aku tidak memiliki gunung harta seperti
Kak Laisa dengan ribuan hektar kebun strawberry-nya. Aku juga tidak sepintar Profesor
Dalimunte yang terkenal itu. Tetapi aku punya hati. Hati yang terlanjur mencintai Wulan
(jasmine; saat Wibisana yang bicara dengan calon mertuanya).... Terima kasih banyak telah
membesarkan putri kalian hingga menjadi begitu cantik, begitu menawan. Dengan segenap