Page 114 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 114

www.rajaebookgratis.com





               seharusnya  mengajak  Yashinta  yang  baru  sembuh  dari  sakit  ikut  mencari  umbut  rotan
               sekalian  melihat  anak  berang-berang.  Tidak  seharusnya  ia  membiarkan    Yashinta
               menggendong lebih banyak potongan umbut rotan.
               Tubuh Yashinta mulai dingin.
               "Yash...."  Kak  Laisa  panik  menciumi  pipi  adiknya.  Suaranya  mencicit.  Ya  Allah,
               bagaimanalah  ini?  Apa  yang  harus  ia  lakukan? Menggendong Yashinta pulang? Ya  Allah,
               kenapa  jemari  adiknya  semakin  dingin.  Apa  yang  akan  ia  bilang  ke  Mamak?  Lais  jaga
               adikmu.  Mamak  selalu  berpesan  begitu,  bahkan  meski  untuk  urusan  sepele  saat  mengajak
               Yashinta mandi di sungai cadas.
                   Tubuh Laisa ciut oleh perasaan takut. Amat gentar.
                   Darah semakin banyak keluar. Tubuh itu semakin dingin.
               "Yash.... Ya Allah..."Kak Laisa tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan,
               "Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais — "
               Kak Laisa kalap memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut basah adiknya.
               "Lais  mohon,  ya  Allah...  Jika  Engkau  menginginkannya,  biarkan  Lais  saja,  biarkan  Lais
               saja...."
               Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.

                   Harimau besar itu menghentikan putarannya.
                   Ekornya berkibas pelan. RRR. Menggerung pelan. Lantas terdiam.
                   Menatap tubuh Yashinta yang tergolek di atas belukar. Semburat cahaya matahari pagi
               yang menerobos dedaunan menyinari tubuh itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya
               harimau itu membuat seekor beruang gunung mengurungkan niat mencabik-cabik tubuh tak
               berdaya Yashinta. Harimau itu sekarang mematung, seperti bisa menatap siluet indah yang
               sedang mengungkung tubuh Yashinta.
                   Dua bajing yang juga mengawasi tempat itu ikut terdiam Naik turun, celingak-celinguk
               kepalanya terhenti, Menatap siluet indah yang sedang mendekat. Mengambang turun.
                   Burung peregrin itu melenguh lemah. Kemudian senyap.
                   Cahaya indah itu menguar di atas tubuh Yashinta.
                   Seperti parade yang turun membelah kabut. Kemilau tiada tara.
               "Ya Allah, Lais mohon, jangan ambil adik Lais...."
               Siluet cahaya itu membungkuk, mencium kening Yashinta lembut
               Senyap. Lereng Gunung Semeru hening.
               "Bangunlah adikku, Kakak menunggu di rumah...."
               Lantas sekejap kemudian sirna.
               Menghilang.
                   Tubuh yang sudah dua puluh jam pingsan itu pelan membuka mata. Mengerjap-ngerjap.
               Yashinta berseru terbata "Kak Lais...?"

               38
               MAAFKAN KAMI
               TENGAH malam kedua di lembah sejak SMS dari Mamak.
                   Dalimunte masih terjaga. Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh tertidur, kondisinya
               tetap status quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak memburuk. Juwita dan Delima meski
               tadi ngotot bilang ingin menunggu Abi-Abi mereka (Ikanuri dan Wibisana) tiba, tapi tubuh
               kanak-kanak mereka terlanjur lelah. Digendong Ummi masing-masing masuk kamar besar,
               lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk kamar.
                   Telepon genggam Dalimunte berdengking. Buru-buru diangkat, siapa pula yang tengah
               malam begini menghubunginya. Tidak mungkin Ikanuri dan Wibisana, karena mereka lima
               belas  menit  lalu  baru  saja  lapor  sudah  tiba  di  kota  kecamatan.  Sekarang  sedang  ngebut
   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118   119