Page 103 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 103
yang sakit. Daud juga yang tidak kenal lelah mengajak warga yang sehat
untuk membersihkan rumah dan lingkungan sekitar guna mencegah
penyebaran nyamuk demam berdarah. Bahkan ayahnya rela ke sana
kemari untuk mencari donatur yang membantu biaya perawatan warga.
Rasanya seumur-umur Elen selalu melihat ayahnya sehat dan segar. Air
mata Elen bercucuran saat mengingat semua tentang ayahnya. Rudi
meremas tangan istrinya, menguatkan agar lebih tabah.
“Sudahlah, Elen. Papa tidak apa-apa. Hanya butuh istirahat
lama.”
“Tidak ada benturan di kepala, Ma?” tanya Rudi. Ia tahu persis
bahayanya diterjang badai apalagi kalau sampai ketiting terbalik.
Kemungkinan besar kepala bisa terhantam ketiting.
“Menurut dokter kepala papamu tidak terbentur. Papa juga tidak
mengeluh pusing. Hanya merasa sangat lelah. Mudah-mudahan dengan
istirahat yang cukup akan membuatnya segera pulih.”
“Elen belum pernah melihat papa sakit. Elen kasihan melihat
papa,” wajah Elen semakin tersaput duka. Disusutnya air mata yang
terus membanjiri wajahnya.
Sutriani mengeringkan peluh di wajah Daud. Udara panas
membuat Daud terus berkeringat. Kipas angin kecil diatas lemari tidak
terlalu banyak membantu. Dengan kipas dari bambu, Sutriani mencoba
mengurangi kegerahan Daud.
Yossi mengerti. Ia beranjak mengajak kedua ponakan untuk
keluar dari kamar sempit ayahnya. Dua orang di kamar sudah membuat
kamar sempit, panas dan kegerahan. Ditambah dengan kak Elen dan kak
Rudi sudah melebih kapasitas kamar. Apalagi ada Yossi dan anak-anak.
“Papamu memang jarang sakit. Sesekali sakit hanya masuk angin dan
kecapekan. Baru kali ini papa sakit parah,” tambah Sutriani membenarkan
kalimat anaknya.
“Tak apa, Ma. Dokter bilang papa khan baik. Lagipula seorang
nelayan sudah biasa diterjang badai dan dihantam ombak. Mungkin kali
ini papa kurang beruntung, tidak seperti biasanya.” Kalimat Rudi sedikit
menenangkan hati Elen. Papa beruntung masih pulang dengan selamat.
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 103