Page 104 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 104
“Bagaimana ketitingnya, Ma?” tanya Rudi beringsut menjauhi Elen. Rudi
duduk agak jauh agar udara di kamar tidak bertambah panas.
“Ketiting masih bagus. Hanya mesin, pancing dan jaringnya
hilang.”
“O…..” Rudi mengangguk-angguk. Beruntung ketiting tidak pecah
terhantam ombak. Tinggal memikirkan untuk membeli mesin, jaring dan
pancing.
“Kenapa papa bisa tidak tahu akan turun badai, Ma?“ tanya
Rudi keheranan. Semua nelayan biasanya bisa memperkirakan kondisi
cuaca sehingga bisa mengantisipasinya. Mereka sudah bersahabat dan
mengenal baik tanda-tanda alam.
Sutriani mengelengkan kepala. Tangannya berhenti mengipasi
Daud. Setelah menyeka keringatnya sendiri, Sutriani mengeser kursinya
menjauh dari tempat tidur. Seandainya ada jendela di kamar ini pasti
akan mengurangi kegerahan. Mereka hanya mempunyai satu jendela di
depan, tepatnya di ruang tamu. Di bagian lain rumah ini tak ada jendela
sama sekali. Dua pintu terletak di depan dan di belakang. Ventilasi juga
tak ada, selain ventilasi alami yang menerebos lewat dinding yang sudah
kusam dan berlubang di beberapa tempat.
“Sebelum berangkat, mama sudah mengingatkan papa untuk
membatalkan melaut. Mama mempunyai firasat buruk. Tetapi papamu
bersikeras dan merasa nyakin tidak akan ada kejadian apa-apa. Ia terlalu
bersemangat untuk mencari ikan. Ada beberapa kebutuhan. Saat dilaut,
langit semakin mendung, beberapa teman mengajak papamu pulang.
Tetapi karena merasa belum mendapatkan ikan yang banyak, papamu
tidak segera pulang. Dan firasat mama terbukti. Papamu terhantam
ombak di laut.”
“Bagaimana papa bisa sampai pulang sendiri?” diam-diam Rudi
memuji ketangguhan mertuanya. Tidak mudah kembali pulang setelah
terhantam ombak semalaman. Daud benar-benar dalam lindungan
Tuhan.
“Iya. Papamu berhasil sampai di dekat pantai dalam keadaan tak
bertenaga dan demam tinggi,” beber Sutriani.
104 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com