Page 172 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 172
kurang memperhatikan pertanyaan Sutriani sehingga membuat istrinya
sedih.
“Uang dari mana, Pa? Kita tidak punya uang simpanan. Tidak ada
barang berharga yang bisa dijual. Kemana akan mencari pinjaman?”
Daud menepuk punggung tangan Sutriani menguatkan hatinya. Bibirnya
mencoba tersenyum semanis mungkin untuk menyembunyikan
kebinggungan dan kegaluan hati.
“Ma, sudah kita bilang. Mama nggak usah pikirkan soal biaya.
Yang penting Mama sembuh dulu. Kita tetap akan usaha. Jangan
khawatir setiap usaha yang sunggung-sungguh pasti akan ada hasilnya.
Papa sudah mendapatkan uang untuk uang muka. Tadi sudah dititipkan
di Rumah Sakit.” Untuk menyakinkan istrinya, Daud memperlihatkan
kwitansi Rumah Sakit yang ia pegang. Sutriani memandang Daud dengan
pandangan minta penjelasan saat melihat deretan angka yang tertulis di
kwitansi Rumah Sakit. Sutriani tahu persis uang sebanyak itu tidaklah
mudah diperoleh.
“Kita berhasil mencari pinjaman ke sana kemari. Masih ada
teman-teman yang bersedia membantu,” kata Daud menyakinkan
istrinya.
Sutriani tampak tersenyum lega setelah mendengar penjelasan
Daud. Jumlah uang dibayarkan Daud memperlihatkan biaya Rumah
Sakit yang sudah dibayar sebagian. Meskipun hanya uang muka tetapi
setidaknya Sutriani merasa lebih nyaman dan tidak terlalu kepikiran.
Tetapi ada pertanyaan yang masih ada dibenak Sutriani. Kenapa Daud
begitu murung dan kelihatan putusasa padahal ia sudah membayarkan
sebagian biaya rumah sakit?
“Pa….”
“Eh, ya? Hampir lupa. Kemarin Yongki titip salam dan minta maaf
karena belum bisa secepatnya menenggok Mama. “
Sutriani kaget, matanya berbinar cerah.
“Benarkah Yongki telepon? Gimana kabar mereka Pa?” tanya
Sutriani antusias. Mungkin sudah ada tiga bulan tidak ada komunikasi
dengan anak sulungnya. Beberapa kali SMS Yossi tidak dibalas Yongki.
Telepon juga tidak diangkat. Berada diluar area, begitu kata operator
172 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com

