Page 185 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 185
Sutriani melihat suaminya tanpa berkata-kata. Tidak tega
rasanya ingin memaki Daud melihat wajah tuanya tampak memelas.
Sutriani hanya mampu menghela nafas berulang-ulang untuk
meredakan kemarahan. Ia paham sekali sampai Daud nekad melakukan
perbuatan itu. Rasa tanggungjawab dan kasih sayang yang begitu dalam
membuatnya telah mengambil jalan yang tidak tepat. Tidak ada gunanya
terus menyesali apa yang telah terjadi.
“Kapan mereka minta dikembalikan?” tanya Sutriani.
“Secepatnya, Ma. Bahkan mereka berniat ingin mengambil uang
ke rumah. Papa berjanji akan mengantar secepatnya ke daseng,” kata
Daud.
Tatapan matanya dilempar jauh jauh ke depan, keningnya
berkerut mencoba mencari jalan keluar.
“Apa yang bisa kita jual untuk menganti uang itu?“ kata Sutriani
tanpa bermaksud menunggu jawaban suaminya. Sutriani tahu tak
mungkin menjual sesuatu karena mereka tidak punya barang berharga.
Sutriani membuka lemari dan mengambil kotak ukir kayu yang
terselip rapi di lemari. Dengan gemetar tangannya membuka kotak kayu.
Hanya ini harapan satu-satunya, meskipun Sutriani merasa berat kalau
harus menjual barang berharga yang hanya satu-satunya mereka miliki.
Mata Sutriani terbelalak kaget dan tidak percaya saat melihat
kotak kayu tinggal menyisakan cincin kawin. Kalung dan gelang tidak ada
ditempatnya. Padahal ketiga barang berharga tersebut selama puluhan
tahun tersimpan aman di kotak kayu. Siapa yang telah mengambil
barang-barang ini? Tak salah lagi, batin Sutriani bergegas menghampiri
Daud.
Dengan kasar disodorkan kotak ukir kayu yang tinggal menyisakan
cincin kawin kepada Daud. Tanpa berkata-kata, hanya tatapan mata
tajam yang mewakili kemarahannya.
Daud menatap kotak kosong dan Sutriani berkali-kali. Lidahnya
kelu tak mampu mengucapkan kata. Tak ada kalimat bahkan kata yang
mampu dirangkainya. Hanya kepedihan dan rasa malu yang datang
kembali mendera hatinya. Tatapan tajam Sutriani membuatnya terpuruk,
tak berdaya.
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 185