Page 189 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 189
Setelah menengguk kopi panasnya, berulangkali rokok dihisapnya.
Asap tebal bergulung-gulung memenuhi warung kopi. Berulangkali kopi
diteguk dan sekarang tinggal sisa seperempatgelas. Daud berusaha
menahan lapar dengan minum sebanyak-banyaknya. Uang limaribunya
tidak akan cukup untuk mengambil jajajan yang terhidang didepannya.
Pisang goroho dan ubi panas tampak mengepul mengundang selera.
Daud terpaksa hanya mengambil satu saja. Hanya segelas kopi dan
pisang yang mampu dibayarnya. Daud tersenyum kecut mengingat
betapa miskin dirinya.
Hampir setengah jam Daud duduk menikmati kopi. Bahkan Daud
sempat minta tambahan air panas tanpa gula dan kopi saat kopinya
tinggal beberapa teguk. Dengan menahan rasa enggan dan malu Daud
terpaksa berlalu dari warung kopi setelah ada beberapa orang yang
datang. Tidak enak rasanya berlama-lama hanya untuk membeli kopi
sementara kursi yang didudukinya bisa digunakan oleh pembeli lainnya.
Daud melangkah tanpa semangat. Tidak tahu hendak kemana langkah
kakinya. Kemarahan Sutriani membuatnya enggan untuk pulang.
Setidaknya untuk saat ini Daud tidak ingin bertemu dengan istrinya. Daud
merasa tidak ada gunanya memberikan penjelasan kepada istrinya. Saat
kemarahan sudah diubun-ubun, batupun bisa hancur dalam sekejap.
Daud memahami watak istrinya, sehingga saat ini bukan waktu yang
tepat untuk bicara dengan Sutriani.
Langkah kaki Daud terus menuju ke barat. Sampai tidak menyadari
kakinya menuju ke arah Sario.
“Om Daud, Om…….”
Daud baru tahu kalau dirinya mulai mendekati daseng saat sebuah suara
menyapanya.
“Om, mau ke daseng, ya?” tanya Erik, sambil mengurangi
kecepatan motornya.
Dengan perlahan motor Erik membuntuti langkah Daud. Saat
Daud berhenti, Erik ikut menghentikan laju motornya dan menyapa
Daud sambil tersenyum ramah. Tangannya terulur menyalami Daud. Erik
merasakan tangan dingin Daud saat mereka bersalaman.
“Gimana kabar Tante Sut?” tanya Erik lagi.
Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com 189