Page 188 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 188
juga tidak mungkin memberikan uang banyak untuk membiayai dirinya.
Jadi sangat mungkin kalau Daud juga menjual perhiasan simpanannya.
Sutriani menjadi nyakin kalau Daud menjual perhiasan karena untuk
membiayai pengobatannya. Uang pinjaman pasti tidaklah sebanyak ini.
Kepala Sutriani mendadak berdenyut-denyut. Ada penyesalan karena
Daud tidak menceritakan semuanya kepadanya. Kenapa Daud hanya
membisu?
**
Daud melangkah pelan menyusuri jalan yang berdebu. Kakinya
terus berjalan tanpa arah yang pasti. Pikirannya buntu, tidak mampu
berpikir lagi. Dibenaknya hanya ada tagihan hutang-hutangnya yang
harus ia bayar. Belum pernah dirinya merasa putusasa seperti ini.
Entah sudah berapa lama berjalan, Daud berhenti saat kakinya
merasakan capek. Dengan meluruskan kaki, Daud melepas lelah di tepi
jalan. Pandangan matanya menatap lalu lalang kendaraan yang tidak ada
putus-putusnya. Semua orang kelihatan sibuk dengan pekerjaan masing-
masing. Raungan knalpot motor memekakkan telingga. Teriakan sopir
angkot mencari penumpang ditimpali deru mobil yang melaju kencang.
Beberapa kali Daud terpaksa berdiri dan bertambah menepi saat ada
mobil melintas dekat dengan pinggir jalan. Para pengendara seperti raja
jalanan, tidak mengenal sopan santun dan tidak takut terjadi kecelakaan.
Semua melaju dengan kecepatan tinggi. Tidak ada yang memperhatikan
keselamatan diri sendiri dan penguna jalan lain.
Rasa penat dan lapar menyadarkan dirinya belum makan sedari
pagi. Tangannya meraba saku celana dan Daud tersenyum kecut saat
tanganya menemukan uang limaribuan yang sudah agak basah dan
lecek.
Beberapa menit kemudian Daud sudah duduk di sebuah warung
kopi kaki lima yang terletak di tepi jalan. Tidak ada pembeli selain dirinya.
Segelas kopi hitam panas mengepul tepat di depannya. Daud membaui
kopi yang terasa harum dan nikmat. Tangannya membuang bungkus
rokok yang isinya tinggal sebatang dan sudah terselip di bibirnya.
188 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com