Page 94 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 94
“Jadi hutangnya jadi berapa ya?”
“Kakak masih hutang duapuluhlima ribu, ya” kata Sutriani sambil
mencatat hutang Sutriani dalam buku kasbonnya.
“Iya, El. Mungkin kalau besok ikannya kering bisa untuk membayar
cicilan hutang.”
“Siap, Kak. Torang ngerti itu, kok.”
Sutriani mengambil semua belanjaannya.
“Besok jangan lupa kalau sudah ada yang kering di bawa ke sini
lagi,” kata Eli sambil menata ikan kering yang tadi di bawa Sutriani.
“Iya, Eli. Mudah-mudahan hari ini panas ya. Jadi ikannya besok
bisa kering.”
“Kak, duduk dulu saja. Nggak tergesa pulang, khan?” Eli
menyodorkan segelas teh gelas dagangannya. Ia duduk di kursi depan
tokonya. Sutriani menerima teh yang disodorkan Eli dan duduk di
sebelahnya. “Sesekali santai, Kak.”
Sutriani tersenyum, menikmati teh manis yang disodorkan Eli.
Jarang-jarang Sutriani bisa bersantai seperti sekarang ini. Baginya waktu
pagi sampai siang hari sangat berharga karena Sutriani bisa menjemur
ikan atau mencari kerang dan bebatuan di pantai. Setelah malam ketika
Daud sudah berangkat ke laut barulah Sutriani merasakan istirahat yang
sebenarnya. Tak apalah sesekali bersantai, batin Sutriani menepiskan
rasa bersalahnya.
“Kak, Eli dengar kabar di Sario agak ramai lagi, ya?” kata Eli.
Sutriani menatap Eli tidak menjawab. Ada keheranan di wajahnya.
“Memang ada khabar apa?”
“Katanya ada penimbunan lagi di tambatan perahu,” jawab Eli.
“Heran ya. Sudah berhenti di timbun, sekarang mulai lagi.
Penimbunan dilakukan waktu malam hari. Segaja untuk mengelabui
nelayan. Kasihan ya. Tambatan perahu kembali berkurang.”
Sutriani mangut-mangut. Ia memang mendengar soal
penimbunan di Sario. Cerita itu sedemikian cepat menyebar, persis
seperti gosip yang gampang dibicarakan. Pada dasarnya nelayan
Malalayang selalu mengikuti perkembangan. Semua informasi begitu
mudah didapatkan.
94 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com