Page 132 - ORASI ILMIAH PROF. DR. POPPY ANDI LOLO SH. MH.
P. 132
131
Selanjutnya, meskipun dari sisi pengertian, di luar batasan protokol
tersebut, pengertian perdagangan orang masih beragam. Hingga saat ini
belum ada kesatuan yang bisa mengambarkan kejahatan perdagangan
orang. Hal ini disebabkan semakin meluasnya dimensi kriminal dari
perdagangan manusia, sehingga batasan tradisional perdagangan
manusia/budak menjadi usang 130 . Karena itu, batasan/pengertian itu
membawa dasar dan implikasi yuridis pula. Dalam pendekatan yang dalam
hukum pidana, batasan trafficking menurut Protocol merupakan elemen dari
suatu perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau perbuatan
melawan hukum (strafbaarfeit/ unlawfull). Sebagai perbuatan yang melawan
hukum (wederrectelijkeheid daad) harus dirumuskan elemen-elemen atau
unsur-unsumya dalam bentuk undang-undang baru sebagai hasil
kriminalisasi perbuatan kejahatan perdagangan orang.
Oleh karena itu, pembatasan yang didasarkan atas ketentuan hukum
menjadi penting dan dilengkapi dengan kondisi atau realitas dari kejahatan
perdagangan orang itu sendiri, sehingga nantinya, menjadi paradigma yang
absah untuk menentukan perdagangan orang sebagai kejahatan luar biasa.
Dengan demikian, maka pemberantasan perdagangan orang ini merupakan
isu hukum yang sudah harus ditingkatkan kualifikasinya, dan karenanya
perlu diantisipasi dengan jaminan kepastian hukum. Peningkatan kualifikasi
kejahatan dalam pendekatan hukum pidana, batasan trafficking menurut
130 Lihat Alison N. Steward, “International Human Rights Law Group”, 1998, dalam
”Perdagangan Perempuan, Migrasi dan Kekerasan Terhadap Perempuan: Penyebab dan
Akibatnya”, Publikasi Komnas Perempuan, hal. 7.