Page 116 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 116
Hal tersebut dilandasi argumen karena selama ini kekayaan
alam yang ada justru digunakan untuk kepentingan ekonomi
yang berbasis investasi asing maupun para pemburu renten.
Model pembangunan semacam ini yang sering kali digunakan
negara untuk mengambil alih lahan masyarakat. Hal inilah yang
kemudian mengakibatkan terjadinya konflik lahan (Ruwiastuti,et
al., 1998; Hardijanto, 1998; Suhendar dan Winarni, 1998; Fauzi,
1997; Bachriadi,et al., 1997; Suhendar dan Kasim, 1995).
KPA juga mempromosikan kebutuhan akan kebijakan
land reform dengan UUPA 1960 sebagai rujukan resmi. KPA
memandang undang-undang pokok tersebut sebagai hukum
nasional yang mengusung prinsip “fungsi sosial atas tanah”, dan
untuk mewujudkan upaya penciptaan keadilan sosial melalui
restrukturisasi penguasaan, kepemilikan dan penggunaan tanah.
KPA menyadari dalam upaya itu posisi rakyat dikalahkan oleh
kepentingan nasional yang dipegang oleh pemerintah sebagai
badan penguasa (Fauzi, 2012; KPA, 1998:2).
Penggunaan UUPA sebagai rujukan resmi juga disebabkan
karena pada era orde baru, Soeharto membuat undang-undang
agraria yang sifatnya sektoral seperti UU 2/1967 mengenai
Penanaman Modal Asing, UU No. 5/1967 tentang Pokok-pokok
Kehutanan, dan UU No. 8/1976 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri. Keberadaan UU sektoral ini pada gilirannya juga
melahirkan respons yang sifatnya sektoral, termasuk di dalamnya
dalam menanggapi isu terkait land reform. Sebagai contoh, isu
sektoral pertambangan dan kehutanan memunculkan respons
dari masyarakat sipil dan akademisi yang fokus pada kerja-kerja
lingkungan. Padahal sebelumnya, isu seperti ini hanya ada satu
sumber rujukan, yakni land reform versi UUPA.
Atrikulasi Kepentingan Petani 99