Page 102 - C:\Users\Acer\Music\MODUL FLIPBOOK DIGITAL\
P. 102
dan lahar yang mengalir ke sungai membawa banyak zat yang dapat mengubah kualitas
air. Sungai menjadi keruh, suhu air meningkat, bahkan kandungan mineralnya berubah
drastis. Kondisi ini jelas berdampak pada makhluk hidup di dalam air. Ikan-ikan bisa
mati, dan air tidak lagi layak untuk digunakan manusia.
Banjir juga menjadi contoh nyata dari pencemaran alami. Saat banjir melanda, air
yang meluap dari sungai atau saluran pembuangan bercampur dengan lumpur, sampah,
kotoran hewan, hingga limbah berbahaya yang sebelumnya berada di darat. Akibatnya,
air yang semula relatif bersih berubah menjadi keruh, berbau, dan penuh bakteri. Tidak
jarang banjir membawa serta hewan mati atau sisa-sisa tanaman busuk yang semakin
memperburuk kondisi air. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sering menghadapi
ancaman penyakit seperti diare, leptospirosis, atau infeksi kulit.
Namun, meskipun peristiwa alam ini bisa menimbulkan pencemaran air, sifatnya
biasanya sementara. Setelah aktivitas vulkanik mereda atau banjir surut, air memiliki
kemampuan alami untuk memulihkan dirinya sendiri. Sungai akan kembali jernih seiring
berjalannya waktu, sedimen mengendap, dan ekosistem perlahan bangkit kembali.
Alam seolah memiliki “mekanisme penyembuhan” yang membuat pencemaran alami
tidak berlangsung selamanya.
Berbeda halnya dengan pencemaran yang disebabkan oleh manusia. Bayangkan,
setiap hari limbah rumah tangga terus dialirkan ke sungai. Setiap jam, pabrik membuang
limbah cairnya tanpa diolah. Setiap menit, ada sampah plastik yang hanyut terbawa
arus ke laut. Tidak ada jeda, tidak ada istirahat. Artinya, jika pencemaran alami biasanya
hanya sesekali, maka pencemaran buatan manusia berlangsung terus-menerus dan
berulang. Inilah yang membuat dampaknya jauh lebih parah.
Jika kita mau berpikir kritis, pertanyaannya sederhana: siapakah sebenarnya yang
paling banyak memperburuk kondisi air—alam atau manusia? Alam memang punya
kuasa untuk menyebabkan bencana, tetapi pencemaran dari alam bersifat sementara
dan bisa pulih kembali. Sementara itu, aktivitas manusia menghadirkan pencemaran
yang tidak hanya masif, tetapi juga sulit dipulihkan. Bahkan, beberapa jenis pencemar
buatan manusia, seperti plastik dan logam berat, bisa bertahan di perairan hingga
ratusan tahun.
Dari sini kita bisa menarik pelajaran penting: jangan terlalu mudah menyalahkan
alam ketika kondisi air memburuk. Sebab, jika kita jujur, penyebab terbesar pencemaran
air justru datang dari tangan manusia itu sendiri. Pertanyaan yang patut kita renungkan
bersama adalah: apakah kita akan terus membiarkan tangan kita merusak sumber air
yang menjadi penopang kehidupan, atau kita mau belajar dari alam yang selalu punya
cara untuk memperbaiki diri?
94

