Page 494 - THAGA 2024
P. 494
tempat breakfast. Dia masih mengenakan setelan kemeja kotak
biru coklat dan celana legging high waist hitam, kakinya dialasi
sandal jepit Fipper biru. Dalam berjalan dia selalu menggamit
lenganku. Perutnya juga sudah tampak bulat mengembang,
sehingga membuat kami seperti sepasang suami istri.
Tempat breakfast yang berada di lobby hotel sini cukup unik.
Suasana dibangun seperti kembali pada kedai-kedai kopi klasik
China Melayu di tahun 60-an. Mulai dari tulisan pada kertas
menu yang masih menggunakan ejaan lama. Berbagai barang
vintage mulai dari toples kerupuk, pesawat telepon, radio,
majalah, hingga Vespa kongo. Kami duduk di kursi sedan dari
rotan dengan meja bundar kayu jati pernis coklat tua. Interior
di sini dipenuhi besi holo hitam, kombinasi unik konsep vintage
dan industrial.
Ester memesan nasi tjaptjai Babah Oey, sedang aku
memesan nasi ajam lada hitam. Untuk minum, Ester memilih
teh tarek semenandjoeng, sedang aku memilih ijs koffie
keponakan. Tak cukup menu tadi, Ester menambah pesanan
berupa roti butter srikaja, singkong sambel roa dan ijs letji
Yakult yang segar.
Kami memesan sesuai selera kami pagi itu, meski di sini
signature menu untuk minuman adalah koffie soesoe Indotjina
yang kopinya terasa, ada creamynya tapi tidak mengalahkan
kopinya. Sedangkan makanan ada soto tangkar yang dagingnya
empuk dan nasi goreng ndeso. Kami dulu sering mampir ke
resto seperti ini sejak namanya masih Kopitiam Oey.
“Suasananya kayak di rumah ayah, ya, Gal. Dari dulu aku
suka sekali dengan budaya dan adat Jawa. Bahkan Ibuku
pengen banget punya mantu orang Jawa,” ujar Ester.
Aku menanggapi dengan senyum. “Ini konsepnya China
Melayu tahun enam puluhan, loh, Ester. Konsepnya malah
486 THAGA
GALGARA