Page 100 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 100
menegaskan bahwa konten digital yang seragam dan
tidak kontekstual dapat mengikis ragam nilai, bahasa, dan
praktik pendidikan lokal. Akibatnya, meski akses terbuka
luas, terjadi penyempitan representasi identitas budaya
dalam kelas digital - murid belajar dengan materi yang
praktis tetapi tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari
mereka.
Pengalaman lapangan memperkuat paradoks ini.
Studi di SMP Bogor oleh Sofralda (2019) menemukan
bahwa siswa menikmati fleksibilitas dan variasi media
belajar daring, tetapi mereka tetap mendambakan
interaksi tatap muka untuk pembelajaran karakter,
diskusi etis, dan internalisasi nilai budaya yang menuntut
kehadiran emosional. Temuan ini menegaskan bahwa
digitalisasi sebaiknya dilihat sebagai pelengkap, bukan
pengganti total, terutama bagi dimensi pembelajaran
yang bersifat relasional dan berakar pada interaksi sosial-
budaya.
Salah satu akar persoalan yang memperparah
risiko homogenisasi adalah ketimpangan infrastruktur
dan kompetensi guru. Sekolah-sekolah di daerah 3T
masih menghadapi keterbatasan perangkat, kualitas
koneksi, dan literasi digital guru (Sumbung, 2022).
Ketimpangan ini menjadikan adopsi teknologi bukan
sekadar soal akses perangkat, tetapi juga soal
kemampuan memanfaatkan teknologi secara bermakna
dan kontekstual. Sekolah dengan dukungan memadai
dapat memodifikasi materi agar sesuai dengan budaya
lokal, sedangkan sekolah dengan sumber daya terbatas
cenderung mengandalkan konten generik yang jauh dari
realitas keseharian siswa.
Menghadapi tantangan tersebut, diperlukan
strategi praksis yang terintegrasi. Pertama, lokalisasi
konten harus menjadi kebijakan nasional melalui kerja
sama pemerintah daerah, LPTK, dan komunitas lokal

