Page 101 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 101
untuk mengadaptasi materi global menjadi versi lokal:
mulai dari terjemahan bahasa daerah, penyisipan narasi
sejarah lokal, hingga validasi budaya oleh tokoh adat.
Kedua, peningkatan kapasitas guru harus menyasar dua
ranah: literasi digital teknis dan literasi kuratorial-
kultural. Guru tidak hanya dituntut mampu
mengoperasikan LMS atau membuat video, tetapi juga
menjadi cultural mediator yang menyeleksi, menilai, dan
mengontekstualisasikan materi agar sesuai dengan nilai
budaya setempat. Ketiga, pembangunan infrastruktur
digital perlu mengedepankan prinsip inclusivity by design
dengan menghadirkan solusi offline-first seperti modul
berbasis USB/SD, server lokal di sekolah atau pusat
belajar desa, dan titik Wi-Fi komunitas berbasis energi
terbarukan.
Kurikulum dan asesmen juga perlu diarahkan
untuk menghargai keragaman budaya melalui tugas
autentik yang menilai kompetensi kultural, seperti
portofolio proyek lokal atau produk multimedia yang
tervalidasi komunitas. Tata kelola konten digital harus
mencakup mekanisme perlindungan budaya: prosedur
prior informed consent saat mengarsip cerita rakyat atau
ritual, metadata yang jelas untuk atribusi, serta
kesepakatan benefit-sharing dengan komunitas. Insentif
bagi sekolah dan komunitas yang memproduksi konten
lokal berkualitas, serta kompetisi antarsekolah atau kerja
sama LPTK–komunitas, dapat memperkuat ekosistem ini.
Monitoring dan penelitian berkelanjutan dengan
pendekatan mixed-methods juga penting untuk
mengukur tidak hanya capaian akademik, tetapi juga
indikator afektif seperti rasa bangga budaya atau
keterampilan berbahasa daerah.
Dengan demikian, pendidikan digital di Indonesia
dapat menjadi sarana demokratisasi akses yang adil
sekaligus benteng pelestarian budaya, asalkan dilandasi

