Page 108 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 108
5. Digital Natives vs Digital Immigrants: Kajian
Sosio-Psikologis dan Adaptasi Guru
Transformasi pendidikan digital tidak hanya
mengubah alat dan metode pembelajaran, tetapi juga
memperlihatkan kesenjangan generasi yang nyata di
ruang kelas. Siswa - yang lahir dan tumbuh di era internet
dan media sosial - dikenal sebagai digital natives: mereka
terbiasa multitasking, mengandalkan search engine untuk
menemukan informasi, dan sangat responsif terhadap
konten visual serta interaktif. Sebaliknya, banyak guru
masih tergolong digital immigrants, yaitu generasi yang
mengenal teknologi di usia dewasa dan cenderung
mengandalkan pola komunikasi verbal-lisan yang
terstruktur dan konvensional (Sumbung, 2022).
Kesenjangan ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi
juga mencakup dimensi sosio-psikologis. Sejumlah guru
mengalami technostress - rasa cemas, tidak percaya diri,
atau bahkan kelelahan mental saat harus menggunakan
platform digital baru - yang berdampak pada motivasi
mereka dalam berinovasi. Sebaliknya, siswa merasa
frustrasi saat metode pengajaran tidak sesuai dengan
ekspektasi mereka yang terbiasa dengan pembelajaran
cepat, instan, dan berbasis pengalaman digital yang
interaktif. Ketidaksinkronan ini berpotensi menghambat
komunikasi dua arah di kelas digital dan mengurangi
efektivitas proses belajar-mengajar.
Penelitian internasional memperkuat temuan ini.
Misalnya, Prensky (2010) menegaskan bahwa digital
natives cenderung memproses informasi dengan cara
non-linear, lebih menyukai percobaan langsung (trial and
error), serta memiliki preferensi belajar berbasis
pengalaman (experiential learning). Sementara itu, guru
dari kalangan digital immigrants cenderung menerapkan
pola instruksi yang linier dan terstruktur karena

