Page 109 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 109
dipengaruhi pengalaman belajar tradisional mereka.
Ketidaksesuaian ini, menurut penelitian Helsper dan
Eynon (2013), dapat menyebabkan hambatan
komunikasi dan menurunkan motivasi siswa bila guru
tidak melakukan adaptasi gaya mengajar.
Contoh nyata terlihat di sebuah SMP negeri di
Yogyakarta, di mana 68% guru yang berusia di atas 45
tahun mengaku mengalami kesulitan mengoperasikan
LMS secara mandiri pada awal pandemi (Data Dinas
Pendidikan DIY, 2021). Namun setelah dilakukan
pelatihan interaktif berbasis praktik langsung dan
mentoring antargenerasi yang melibatkan guru muda dan
siswa berprestasi di bidang teknologi, tingkat
kepercayaan diri guru dalam menggunakan LMS
meningkat hingga 70% dalam tiga bulan, disertai dengan
kenaikan partisipasi siswa di kelas daring.
Program mentoring antargenerasi ini sejalan
dengan rekomendasi Anisa (2022) yang menekankan
bahwa kolaborasi lintas generasi di sekolah - misalnya
dengan membentuk tim inovasi yang terdiri atas guru
senior, guru muda, dan siswa - efektif untuk mempercepat
adaptasi teknologi dan membangun solidaritas
komunitas belajar.
Selain penguasaan teknologi, soft skills pedagogis
seperti empati digital, kemampuan membaca dinamika
psikologis siswa, dan komunikasi lintas generasi menjadi
faktor penentu keberhasilan harmonisasi. Guru yang
mampu memahami cara berpikir siswa digital natives -
yang lebih responsif terhadap visual, storytelling, dan
gamifikasi - lebih mudah memodifikasi pendekatan
pembelajaran untuk menarik minat siswa.
Sekolah-sekolah yang berhasil memanfaatkan
pendekatan ini umumnya mengombinasikan pelatihan
teknis dengan pengembangan kapasitas pedagogis guru
melalui lesson study, sesi refleksi kolaboratif, dan

