Page 11 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 11
itu sendiri menjadi arena pembelajaran nilai dan refleksi
kritis.
Penguatan identitas melalui kearifan lokal juga
menuntut evaluasi yang berbeda dari ukuran
pembelajaran tradisional. Keberhasilan tidak hanya
diukur lewat tes kognitif, melainkan melalui indikator
perilaku, afektif, dan partisipatif: meningkatnya
kebanggaan budaya, keterlibatan siswa dalam kegiatan
komunitas adat, kemampuan merefleksikan makna
budaya dalam konteks modern, serta kapabilitas untuk
mengartikulasikan kritik terhadap praktik-praktik global
yang merusak. Portofolio budaya, penilaian kinerja (mis.
presentasi proyek komunitas), refleksi naratif, dan survei
sikap kultural adalah instrumen yang lebih sesuai untuk
mengcapture perkembangan identitas. Pendekatan
mixed-methods (kuantitatif + kualitatif) membantu
menghadirkan gambaran menyeluruh tentang
bagaimana kearifan lokal mempengaruhi resilience
identitas siswa.
Peran institusi, khususnya LPTK dan sekolah,
sangat krusial: mereka perlu mengembangkan kapasitas
guru untuk mengajar dengan sensitif-kultural dan
berkemampuan digital sekaligus; merancang kurikulum
tematik yang mengaitkan materi lokal dengan
kompetensi abad ke-21; serta membangun kemitraan
formal dengan komunitas adat, museum lokal, dan pelaku
industri kreatif. Pembentukan standar etika untuk
penggunaan pengetahuan tradisional - misalnya prosedur
persetujuan komunitas, pembagian manfaat, dan
perlindungan kekayaan intelektual tak berwujud - adalah
langkah preventif untuk menghindari eksploitasi budaya.
Selain itu, investasi pada infrastruktur digital yang inklusif
dan program literasi digital berbahasa daerah akan

