Page 132 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 132
lokal, perpustakaan, atau LSM budaya sering menjadi
jembatan komunikasi antaraktor. Kajian metodologis
menekankan bahwa menggambarkan peran ini secara
eksplisit sejak awal memperkecil risiko miskomunikasi
dan praktik ekstraktif.
Model kolaborasi yang efektif menggabungkan
beberapa pendekatan yang saling melengkapi. Co-design
workshops mempertemukan pengguna akhir (pelajar,
guru, anggota komunitas) dengan desainer dan developer
untuk menghasilkan prototipe bertahap; program
hackathon budaya / culture hackathon menyediakan
waktu intensif untuk prototyping dan demonstrasi publik
dalam jangka pendek - model ini sering diperpanjang
menjadi sprint beberapa minggu pada proyek
kebudayaan; magang industri dan community-based
internships mengintegrasikan mahasiswa ke dalam
produksi nyata sehingga terjadi translasi riset ke praktik;
sementara penelitian partisipatif (community-based
participatory research) cocok bila tujuan utama adalah
dokumentasi, konservasi, dan pembagian manfaat jangka
panjang. Kombinasi model-model ini memungkinkan
iterasi cepat (prototyping → uji komunitas → refinemen)
sekaligus memberikan landasan metodologis yang lebih
kuat untuk evaluasi.
Tata kelola kolaborasi dan isu etika harus menjadi
landasan operasional sejak fase inisiasi. Prinsip Free,
Prior and Informed Consent (FPIC) atau mekanisme
persetujuan terbuka perlu diterapkan ketika menangani
pengetahuan tradisional dan narasi komunitas agar tidak
terjadi praktik ekstraktif. Perjanjian tertulis (MOU/MOA)
yang mengatur kepemilikan hak cipta, pembagian
manfaat (benefit sharing), akses data, hak pengguna akhir,
serta mekanisme review komunitas sebelum publikasi
atau komersialisasi akan menciptakan transparansi dan

